Sesampainya di restoran, aku segera menghampiri meja kasir, memesan kursi untuk dua orang, seperti yang biasanya aku lakukan dulu. Tempat ini tidak berubah sama sekali, lokasinya yang dekat dengan pusat Kota Jogja membuatnya sangat nyaman untuk disinggahi. Warna cat temboknya masih sama, walaupun semakin menguning sejak beberapa tahun lalu aku pergi ke tempat ini.
"Sudah reservasi, mas?" tanya salah satu pramusaji.
"Sudah, mbak," balasku. "Atas nama Anton. Untuk dua orang."
"Baik, sebentar, saya cek dulu ya, mas," katanya, sambil memencet layar komputer yang hanya bisa aku lihat melalui pantulan cahaya dari cermin di bagian belakang kasir. "Atas nama Anton, dengan pesanan mi laksa satu, dan kwetiaunya satu," lanjutnya menjelaskan.
"Mmm...ini, ada catatan lagi mas, kwetiaunya pe....des......sedikit? Betul, ya?" tanya mbak pramusaji memastikan, sambil berusaha mengernyitkan dahi, dan menyipitkan matanya. karena kesulitan membaca tulisan tanganku.
"Iya, betul mbak, makasih, ya..." kataku, sedikit gugup karena malu.
"Untuk minumannya, ada dua es teh nyonya, dan satu air putih ya, mas?" balasnya, sekali lagi mengonfirmasi pesanan yang aku tulis.
"Iya mbak, yang es teh nyonya, gulanya juga sedikit aja," tegasku.
Aromanya masih sama, aku bisa merasakan kuah laksa di ujung lidahku, hanya dengan satu hirupan napas panjang. Bunyi wajan, aku biasa menyebutnya wok, yang terdengar dari ruang masak menjadi pelengkap dari rasa laparku sore menjelang malam itu. Aku ingin segera menyantapnya.
Di Jogja, tidak perlu menunggu hujan untuk merasakan dinginnya malam. Beda banget sama Jakarta. Makanya, tempat ini sangat tepat untuk menghangatkan perut dengan makanan berkuahnya.