"Ma'af kanjeng guru, izinkan muridmu yang tak tahu apa-apa ini bertanya. Apakah yang dimaksud manusia sebagai tajallinya Dzat yang Maha Suci itu?"
Ia pun memberanikan diri akan melontarkan kata-kata itu. Tapi itu hanya terbersit dalam hatinya tidak sampai keluar dari mulutnya. Â Tapi sang guru mengetahui kegelisahan muridnya itu. Ia pun melanjutkan penjelasannya.
"Anakku Somad. Tajalli itu maksudnya adalah perwujudan Dzat yang Maha Suci kepada manusia. Ada tujuh martabat yang dilalui. Orang yang mampu mencapai penghayatan kesatuan dengan Tuhan, akan menjadi orang yang waskita dan menjadi orang yang sempurna hidupnya."
Guru itu menatap muridnya itu dalam-dalam seakan sedang menyelami hatinya. Lalu ia melanjutkan wejangannya.
"Orang yang sudah mencapai tingkatan ini tingkah lakunya mencerminkan perbuatan-perbuatan Tuhan, karena Tuhan bersabda, mendengar, melihat, merasakan  segala rasa, serta berbuat mempergunakan tubuh manusia."
Somad mendengarkan wejangan gurunya dengan serius. Keningnya berkerut, butir-butir keringat bergelombol di dahinya dan matanya menatap lurus ke depan. Sedikit banyak hatinya terguncang dengan ilmu yang baru di dapat dari gurunya itu. Pikirannya belum sepenuhnya bisa menerimanya.
Perubahan dan guncangan yang terjadi pada Somad tertangkap oleh gurunya. Ia pun berkata
"Somad anakku. Ilmu ini memang ilmu tingkat tinggi tidak mudah orang menerimanya. Resapi dan pikirkan dengan hati tenang dan ikhlas." Kata gurunya itu menasihati.
"Untuk pertemuan kali ini cukup sampai disini dulu. Nanti kita lanjutkan kembali." Gurunya menutup wejangannya. Acara pun ditutup dengan makan-makan bersama.
Somad ikut makan bersama. Ia tidak hanya sedang mencerna makanan tapi juga pikirannya juga sedang mencerna wejangan gurunya.
"Orang yang sudah mencapai tingkatan ini tingkah lakunya mencerminkan perbuatan-perbuatan Tuhan, karena Tuhan bersabda, mendengar, melihat, merasakan  segala rasa, serta berbuat mempergunakan tubuh manusia.
" Kata-kata itu masih jelas terngiang di ruang pikirannya. Ia teringat cuplikan syair klasik karangan ulama sekaligus pujangga Hamzah Fansuri yang ia gandrungi.