Tubuhnya polos tanpa baju, telanjang dada. Telinga kirinya bersumping untaian bunga surengpati. Untaian bunga berbentuk usus ayam rangkap tiga, bentuk margasupana melingkar di lehernya seperti halnya orang yang jadi pengantin.
Somad duduk bersila, khusuk, di selembar tikar yang terbuat dari daun pandan yang di atasnya dihamparkan kain putih tujuh lembar dan ditaburi bermacam-macam bunga. Di empat sudut ruangannya diberi tumbuh-tubuhan.
Di depan Somad tersaji srikawin yang terdiri sejumlah uang koin yang diletakan di dalam bokor dengan semprotan minyak wangi yang menyengat wanginya dan kemenyan beberapa butir. Wadah itu ditutup dengan kain putih.Â
Di sampingnya tergeletak dua sisir pisang raja, daun sirih muda segar, setangkai buah pinang serta kembar mayang sejodoh yang ditempatkan di wadah  lain yang juga ditutup dengan selembar kain putih.
Malam semakin larut. Ketika jarum jam menunjukan ke arah angka 12 Somad bersila memantapkan duduknya menghadap ke arah matahari pulang. Kemenyan dibakar, asapnya membumbung memenuhi ruangan itu.
 Baunya menyebar merayapi sela-sela ruangan. Telinga kiri Somad diasapkan lalu ke hidung dan akhirnya dada dan kemudian seorang tua berbadan kurus dan bertutup kepala seperti udeng-udeng memberi wejangan disaksikan empat orang laki-laki paruh baya yang seilmu.    Â
***
Somad masih berusia sangat muda untuk ukuran orang yang mempelajari ilmu kemakrifatan. Umurnya masih sekitar 35 tahun. Tetapi umurnya tidak menghalanginya untuk bersikeras ngelmu.Â
Ia tidak pernah lelah mencari dan mencari guru atau mursyid yang bersedia menerima dirinya dan mengantarkannya untuk mengenal lebih dalam tentang hakikat hidup.
Ia bertanya kepada orang yang dikenalnya tentang seorang guru yang mengajarkan hakikat kehidupan. Tidak sedikit teman-temannya memberi tahu nama dan alamat orang itu. Ia menemui dan berbicara tentang apa yang diinginkannya.Â
Namun dari sekian orang yang ditemuinya belum ada guru yang menggugah hatinya untuk belajar kepadanya. Ia pun terus mencari dan mencari guru yang diharapkannya.
Tidak hanya mencari secara dzohir, Somad juga berikhtiar dengan mengamalkan wirid secara istiqomah agar bisa dipertemukan dengan seorang guru yang dicarinya itu. Atau paling tidak, ia bertemu dengan seseorang yang dapat memberikan petunjuk kemana ia harus melangkah.
Setiap malam menjelang tidur, Somad merapalkan wirid yang didapatkan dari seorang  ustadz yang konon katanya bisa mempertemukannya dengan guru yang dicarinya.
 Di malam jum'at yang sepi,  akhirnya Somad bermimpi bertemu dengan seorang yang berpakaian serba hitam, kepalanya ditutupi blangkon  dan berkumis tipis memberi tahu kemana ia harus pergi.
"Pergilah Ananda ke arah matahari terbit, berhentilah di sekitar Surakarta dan carilah orang tua yang memimpin padepokan "Ma'rifatullah". Kepadanyalah Ananda belajar dan memohon bimbingannya mengenal ilmu hakikat hidup."
"Kalau boleh tahu siapakah namanya guru?"
Belum sempat ia mendapat jawaban. Laki-laki setengah baya itu telah menghilang bersamaan dengan ia terjaga dari tidurnya.
Somad tertegun duduk di tempat tidurnya. Ia mengingat-ingat apa yang terjadi dalam mimpinya. Ia merasa apa yang dialami dalam mimpinya seperti nyata. Ia seperti tidak asing dengan orang yang ada di dalam mimpinya itu.Â
Tapi entah dimana dan kapan ia pernah bertemu. Ia bersyukur bisa bermimpi bertemu orang tersebut. Yang lebih membuat ia girang tak kepalang adalah ia diberi petunjuk kemana ia harus melangkah mencari guru yang selama ini ia cari dan harapkan itu.
Paginya ia bersiap-siap dan berangkat menuju tempat sesuai dengan petunjuk dalam mimpinya. Ia berangkat dari stasiun senen Jakarta.
Setelah menjalani perjalanan semalaman, ia mencari orang yang didapat dari petunjuk mimpinya. Setelah bertanya ke beberapa orang yang ditemuinya akhirnya ia bertemu juga dengan orang yang dicarinya.
***
Somad diminta oleh orang tua kurus yang sekarang telah menjadi gurunya itu untuk mengambil air wudhu dan membaca niat dalam bahasa jawa.
"Nawetu rapngal kadasi, sohirota wal kabirata, parlan lillahi tangala Alahu akbar. (Niatingsun amek banyu kadas, karana angilangake kadas cilik lan kang gedhe, parlu karana Allah)".   Â
Setelah berwudhu, Somad kembali duduk bersila menghadap ke barat. Di depannya orang tua kurus yang jenggotnya terlihat  memutih itu mulai berbicara.
"Somad, anakku, mari kita mulai proses belajar kita. Sebelumnya, saya ingin memberitahumu, bahwa ilmu yang akan Ananda pelajari ini bukan sembarang ilmu. Ini adalah ilmu leluhur peninggalan para wali. Ilmu gabungan dari delapan ilmu yang sangat luar biasa. Jadi..."
Orang tua kurus itu berhenti bicaranya dengan melihat ke sekeliling ruangan yang mirip blandongan yaitu bangunan terbuka tanpa dinding. Hanya sejumlah tiang-tiang yang terpancang menyangga bangunan itu. Seakan-akan ia takut ada orang lain yang ikut mendengarkan. Setelah ia anggap aman. Tak ada orang lain selain mereka yang ada di ruangan itu. Lalu ia melanjutkan. Â
"orang yang belajar ilmu ini bukan sembarang orang. Ia adalah orang pilihan yang memang pantas untuk mendapatkan ilmu ini." Â Â
Orang tua berpakaian hitam-hitam itu berhenti bicaranya, tangannya mengambil butir-butir kemenyan dan menaburkannya di tempat kemenyan. Asapnya mengepul lagi memenuhi ruangan itu. Baunya berlari sembunyi di lubang-lubang hidung orang yang hadir di tempat itu.Â
"Somad, anakku. Ilmu ini merupakan ilmu gabungan dari ilmu-ilmu yang diajarkan oleh delapan wali ternama di Jawa. Yaitu Sunan Parapen, Sunan Darajat, Sunan Ngatasangin, Sunan Kalijaga, Sunan Tembayat, Sunan Padusan, Sunan Kudus dan Sunan Geseng."
Somad terlihat memperhatikan dengan khusuk wejangan laki-laki kurus yang telah menjadi gurunya itu. Angin malam sepoy menabrak tubuhnya yang telanjang. Ia tak sedikit pun goyah. Ia kokoh bagai batu karang. Dadanya yang berisi, pundaknya yang bidang dan urat-uratnya menyembul memperlihatkan badannya yang terurus dengan baik.
"Anakku Somad. Dulu, para wali yang mengajarkan ilmu ini terpisah-pisah." Laki-laki dengan kepala  ditutupi kain itu melanjutkan pembicaraannya.
"Ada yang mengajarkan ilmu makrifat saja, ilmu kekebalan, ilmu patah dan sebagainya. Kemudian, Kyai Ageng Muhammad Sirullah menyusunnya menjadi satu ajaran yang lengkap."
Di luar, rembulan telanjang bulat yang membuat cahayanya tumpah ruah mengguyur bumi.
Orang-orang yang duduk di bangunan itu tampak terlihat meskipun tidak terlalu jelas. Â Â
"Somad, anakku. Inti semua ajaran ini adalah cara bagaimana menemukan rahasia ilmu ghaib tentang hakikat hidup. Agar menjadi baik hidupnya, selamat dari awal sampai akhir. Selamat dunia akhirat. Bukan ilmu untuk jago-jagoan."
Kali ini angin malam melabrak tubuh Somad untuk kedua kalinya dengan cukup keras. Sampai kalung  yang melingkar di lehernya bergoyang-goyang. Posisi kalung  bergeser ke arah kiri. Ia pun membetulkan untaian bunga berbentuk usus ayam rangkap tiga itu, bentuk margasupana yang melingkar di lehernya.
"Iya guru." Somad menjawab lirih.
"Anakku, Somad. Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah tolong ilmu ini jangan diajarkan kepada orang lain selama guru masih ada. Jika Ananda masih kurang mengerti dengan penjelasan guru, Ananda boleh belajar ke guru lain asal meminta izin terlebih dahulu."
"Baik, Kanjeng guru." Somad menjawab singkat dengan penuh takdim.Â
"Yang menjadi dasar ilmu makrifat ini adalah ulasan kanjeng Nabi Muhammad yang diajarkan kepada sayyidina Ali:
Sesungguhnya tidak ada apa-apa, karena ketika masih kosong belum ada sesuatu pun, yang ada lebih dahulu adalah Aku, tidak ada Tuhan selain Aku, Dzat yang Maha Suci, yang meliputi sifat-Ku, menyertai nama-Ku, menandai perbuatan-Ku." Â Â
Somad mendengarkan wejangan gurunya dengan khusuk. Meskipun demikian, ia sebenarnya belum paham betul apa yang disampaikan gurunya itu. Â Untuk bertanya ia belum ada keberanian. Ia berharap kepada gurunya ada penjelasan yang lebih lanjut.
"Somad, anakku. Dzat itu mengandung sifat, seumpama madu dengan rasa manisnya, pasti tak dapat dipisahkan. Sifat menyertai nama, seumpama matahari dengan sinarnya, pasti tak dapat dibedakan. Nama menandai perbuatan, seumpama cermin, orang yang bercermin dengan bayangannya, pasti tingkah lakunya mengikuti bayangan. Sedangkan perbuatan menjadi wahana Dzat, seumpama samudera dengan ombaknya, pasti keadaan ombak mengikuti perintah samudera." Â Â Â
Sampai di sini, Somad masih belum memahami betul apa yang diuraikan oleh gurunya itu. Ia masih mencoba mencerna apa yang diucapkan gurunya. Tapi pikirannya belum juga menemukan titik terang.
"Somad, anakku. Jadi, sebelum semua dunia dan seisinya ini ada sudah ada terlebih dahulu Dzat Yang Maha Suci, Dzat yang kadim azali abadi. Yakni Tuhan yang Maha Esa. Sesunggunya hidup kita itu adalah tajallinya Dzat yang Maha Suci itu."
Somad mangguk-mangguk kepalanya seperti burung tekukur yang sedang berbunyi. Kemudian memberanikan dirinya mengangkat kepalanya, matanya berbinar-binar seakan ia telah memahami penjelasan gurunya tapi matanya tak berani menatap langsung gurunya. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
 "Ma'af kanjeng guru, izinkan muridmu yang tak tahu apa-apa ini bertanya. Apakah yang dimaksud manusia sebagai tajallinya Dzat yang Maha Suci itu?"
Ia pun memberanikan diri akan melontarkan kata-kata itu. Tapi itu hanya terbersit dalam hatinya tidak sampai keluar dari mulutnya. Â Tapi sang guru mengetahui kegelisahan muridnya itu. Ia pun melanjutkan penjelasannya.
"Anakku Somad. Tajalli itu maksudnya adalah perwujudan Dzat yang Maha Suci kepada manusia. Ada tujuh martabat yang dilalui. Orang yang mampu mencapai penghayatan kesatuan dengan Tuhan, akan menjadi orang yang waskita dan menjadi orang yang sempurna hidupnya."
Guru itu menatap muridnya itu dalam-dalam seakan sedang menyelami hatinya. Lalu ia melanjutkan wejangannya.
"Orang yang sudah mencapai tingkatan ini tingkah lakunya mencerminkan perbuatan-perbuatan Tuhan, karena Tuhan bersabda, mendengar, melihat, merasakan  segala rasa, serta berbuat mempergunakan tubuh manusia."
Somad mendengarkan wejangan gurunya dengan serius. Keningnya berkerut, butir-butir keringat bergelombol di dahinya dan matanya menatap lurus ke depan. Sedikit banyak hatinya terguncang dengan ilmu yang baru di dapat dari gurunya itu. Pikirannya belum sepenuhnya bisa menerimanya.
Perubahan dan guncangan yang terjadi pada Somad tertangkap oleh gurunya. Ia pun berkata
"Somad anakku. Ilmu ini memang ilmu tingkat tinggi tidak mudah orang menerimanya. Resapi dan pikirkan dengan hati tenang dan ikhlas." Kata gurunya itu menasihati.
"Untuk pertemuan kali ini cukup sampai disini dulu. Nanti kita lanjutkan kembali." Gurunya menutup wejangannya. Acara pun ditutup dengan makan-makan bersama.
Somad ikut makan bersama. Ia tidak hanya sedang mencerna makanan tapi juga pikirannya juga sedang mencerna wejangan gurunya.
"Orang yang sudah mencapai tingkatan ini tingkah lakunya mencerminkan perbuatan-perbuatan Tuhan, karena Tuhan bersabda, mendengar, melihat, merasakan  segala rasa, serta berbuat mempergunakan tubuh manusia.
" Kata-kata itu masih jelas terngiang di ruang pikirannya. Ia teringat cuplikan syair klasik karangan ulama sekaligus pujangga Hamzah Fansuri yang ia gandrungi.
La ilaha illallahu itu kesudahan kata,
tauhid ma'rifat semata-mata.
hapuskan hendak sekalian perkara,
hamba dan Tuhan tiada berbeda.
Pikiran Somad tidak bisa berhenti. Ia berputar terus seperti memori komputer yang sedang dinyalakan. Ia memikirkan bagaimana manusia sebagai makhluk bisa menjadi perwujudan dari Dzat yang Maha Suci. Ia juga berpikir memang manusia terdiri dari wujud wadag yaitu tubuh atau badan dan wujud lembut yaitu ruh yang tidak bisa dilihat dan diraba yang ditiupkan Tuhan kepada manusia. Apakah ruh yang ditiupkan kepada manusia itu adalah ruh Tuhan? Kalau manusia meninggal bukankah ruhnya yang lepas dari badan? Pikiran Somad melayang kemana-mana.
Setelah kembali ke rumah, pikiran Somad masih terus berputar. Akhirnya ia tidak tahan menendam sendiri.Â
Ia ceritakan pengalamannya ngelmu ilmu hakikat hidup itu kepada ayahnya, H. Karim. Ia ceritakan dari awal sampai akhir lengkap dengan kegelisahan-kegelisahan pikirannya.Â
Ayahnya merasa khawatir dengan kondisi anaknya. Ia sangat khawatir anaknya terseret terlalu jauh kepahaman keislaman yang tidak umum dengan masyarakat.Â
Ia pun ceritakan keadaan anaknya itu kepada ustadz Marzuki selepas shalat Isya. Kebetulan disitu juga ada H. Maulana, ketua DKM masjid itu. Â Â Â
"Ma'af ustadz, saya ingin menyampaikan kekhawatiran tentang anak saya, Somad. Beberapa bulan ini ia pergi ke Jawa untuk mempelajari ilmu makrifat katanya. Menurutnya, manusia itu perwujudan dari Dzat yang Maha Kuasa yaitu Tuhan atau sering kita dengar dengan istilah manunggaling kaula gusti. Saya sangat khawatir anak saya tersesat ustadz."
Ustadz itu mangguk-mangguk. Sementara H. Maulana terlihat mukanya tegang mendengarkan perkataan H. Karim.
"Saya memahami kegelisahan Pak Haji." kata Ustadz Marzuki.
"Sebagai orang tua, kita masih punya kewajiban mengingatkan anak kita tentang pemahaman agama. Jangan sampai kita terlambat dan anak kita terjerumus ke pemahaman agama yang salah." Kata ustad Marzuki.
"Kalau seperti itu sudah menyimpang Pak. Saya yakin itu sudah keluar dari ajaran Islam." Kata H. Maulana langsung saja berkomentar tanpa dipesilahkan terlebih dahulu. Â Â Â
"Saya memahami pendapat H. Maulana. Tapi sebaiknya kita tanya dulu kepada Somadnya langsung agar kita tidak salah paham."
"Saya setuju ustadz. Sebaiknya saya panggil saja anakku Somad untuk menghadap."
"Ngapain juga kita panggil Somad. Ini jelas-jelas pemahaman Islam yang menyimpang dan bahkan masuk kelompok kafir!" Kata H. Maulana suaranya keras menahan emosi.
"Kita lihat dalam sejarah. Al-Hallaj dihukum mati karena pemahaman seperti itu. Syeikh Siti Jenar juga begitu. Mau minta penjelasan seperti apa lagi?" Kata ketua DKM itu. Â Â
"Sabar Pak Haji. Tahan dulu emosinya. Saya tahu pemahaman Islam seperti ini dalam sejarah Islam, termasuk di negeri ini, mengalami sejarah kelam.Â
Kita semua tahu bagaimana karya-karya Hamzah Fansuri diberangus karena dianggap mempunyai pemahaman wahdatul wujud ini. Tapi kita sebaiknya dengar dulu penjelasan Somad." Kata Ustadz Marzuki menenangkan.
Somad pun akhirnya datang ke masjid setelah marbot masjid menjemputnya.
 "Ananda Somad. Saya dengar dari Ayanda bahwa Ananda belajar ilmu makrifat, apakah benar?" Ustadz Marzuki memulai pembicaraannya.
Somad yang duduk bersila menghadap Pak Ustadz, ayahnya dan H. Maulana itu merasa dirinya sedang disidang atau bahkan diintrogasi di tempat itu.
"Benar Pak Ustadz." Somad menjawab pendek. Â
 "Benarkah Ananda belajar tentang wahdatul wujud atau manunggaling kawula gusti?"
"Saya belajar tentang hakikat hidup, Ustadz."
"Apakah Anda belajar bahwa Tuhan itu mewujud dalam diri manusia atau manunggaling kawula gusti?"Â Kata H. Maulana nadanya keras.
"Pak Ustadz, Ayah dan Pak Haji yang saya hormati. Izinkan saya menjelaskan secara lengkap apa yang saya pelajari. Saya belajar tentang ini pada seorang kiai di Jawa.Â
Setahu saya, ilmu yang saya pelajari mengacu ke ajaran "Serat Wirid Hidayat Jati" karya pujangga ternama Raden Ngabehi Ranggawarsita. Ajaran ini juga mengacu kepada ilmu-ilmu para wali songo. Jadi saya belajar tentang ilmunya para ulama." Kata Somad hati-hati. Â Â
"Oh begitu." Kata Ustadz Marzuki.
"Anda telah belajar ilmu sesat, Somad!" Kata H. Maulana menyergap.
"Ma'af, Pak Haji, sesat dimananya?" Somad terpancing juga emosinya.
"Sesat dimananya? Kalau seorang manusia sebagai makhluk ciptaan mengaku menjadi Tuhan bukankah itu sudah ngaco?" Kata H. Maulana.
"Tenang! Semua tenang!. Bisa dijelaskan lebih lanjut apa yang sudah Ananda Somad pelajari tentang ilmu ini?" Ustadz Marzuki mencoba tenang dan bijaksana.
"Terima kasih Pak Ustadz. Saya akan mencoba menjelaskan sebisa yang saya pahami." Somad membetulkan posisi duduknya. Ia lebih menghadap ke arah Ustadz Marzuki dan ayahnya. Tentu posisi ini membuat H. Maulana semakin kesal. Â Â Â Â Â
"Ayahanda, Pak ustadz dan pak Haji, Dzat itu mengandung sifat, seumpama madu dengan rasa manisnya, pasti tak dapat dipisahkan. Sifat menyertai nama, seumpama matahari dengan sinarnya, pasti tak dapat dibedakan.Â
Nama menandai perbuatan, seumpama cermin, orang yang bercermin dengan bayangannya, pasti tingkah lakunya mengikuti bayangan.Â
Sedangkan perbuatan menjadi wahana Dzat, seumpama samudera dengan ombaknya, pasti keadaan ombak mengikuti perintah samudera. Manusia itu banyangan Tuhan. Karenanya, apakah kita bisa membedakan antara orang yang bercermin dengan bayangannya? "
Begitu pemahaman yang saya peroleh dari guru. Ia menjelaskan seperti apa yang disampaikan oleh gurunya dan menambahkan sesuai dengan pemahamannya. Â Â Â
"Jelas ini bukan ajaran Islam. Ini ajaran kejawen. Ini sangat berbahaya." Kata H. Maulana menyerobot. "Saya tidak mau mengambil risiko. Bagi saya pilihannya hanya dua: berhenti mengikuti ajaran itu atau keluar dari kampung ini. Saya takut kalau ini dibiarkan akan meracuni jama'ah kita." Kata H. Maulana mulai mempengaruhi. Â Â Â Â
"Somad anakku. Benar menurut Pak Haji. Sebaiknya ananda tinggalkan ajaran ini. Sangat berbahaya bagi keimanan ananda." Kata H. Karim menasihati Somad, anaknya.
"Betul kata Ayahanda dan Pak Haji, sebaiknya tinggalkan ajaran itu. Perdalam dulu ilmu syariat ananda. Agar tidak mudah terjerumus kepada pemahaman Islam yang salah.
Somad hanya tertunduk lesu. Tapi tidak pikiran dan keyakinannya. Ia tidak ingin berhenti belajar tentang ilmu ini. Tapi untuk menjaga hubunganya dengan ayahnya dan tokoh agama di kampungnya ia pun akhirnya berkata.
"Terima kasih atas wejangan dan nasihatnya. Saya akan berusaha belajar lebih baik lagi."
"Anda harus berjanji meninggalkan ajaran itu!" Kata H. Maulana masih belum puas.
 "Kalau Somad masih macam-macam biarlah itu menjadi urusan saya Pak Haji." Kata H. Karim merasa kesal juga dengan sikap H. Maulana.
"Baik kalau begitu. Saya kira pertemuan malam ini cukup. Semoga Ananda Somad tidak terjerumus ke pemahaman yang salah." Kata Ustadz Marzuki bijak.
Jakarta, 27 November 2018 Â Â
*Substansi cerpen ini bersumber dari buku Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita Suatu studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati Karya Dr. Simuh. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI