Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ngelmu

27 November 2018   09:31 Diperbarui: 27 November 2018   16:38 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini angin malam melabrak tubuh Somad untuk kedua kalinya dengan cukup keras. Sampai kalung  yang melingkar di lehernya bergoyang-goyang. Posisi kalung  bergeser ke arah kiri. Ia pun membetulkan untaian bunga berbentuk usus ayam rangkap tiga itu, bentuk margasupana yang melingkar di lehernya.

"Iya guru." Somad menjawab lirih.

"Anakku, Somad. Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah tolong ilmu ini jangan diajarkan kepada orang lain selama guru masih ada. Jika Ananda masih kurang mengerti dengan penjelasan guru, Ananda boleh belajar ke guru lain asal meminta izin terlebih dahulu."

"Baik, Kanjeng guru." Somad menjawab singkat dengan penuh takdim. 

"Yang menjadi dasar ilmu makrifat ini adalah ulasan kanjeng Nabi Muhammad yang diajarkan kepada sayyidina Ali:

Sesungguhnya tidak ada apa-apa, karena ketika masih kosong belum ada sesuatu pun, yang ada lebih dahulu adalah Aku, tidak ada Tuhan selain Aku, Dzat yang Maha Suci, yang meliputi sifat-Ku, menyertai nama-Ku, menandai perbuatan-Ku."    

Somad mendengarkan wejangan gurunya dengan khusuk. Meskipun demikian, ia sebenarnya belum paham betul apa yang disampaikan gurunya itu.  Untuk bertanya ia belum ada keberanian. Ia berharap kepada gurunya ada penjelasan yang lebih lanjut.

"Somad, anakku. Dzat itu mengandung sifat, seumpama madu dengan rasa manisnya, pasti tak dapat dipisahkan. Sifat menyertai nama, seumpama matahari dengan sinarnya, pasti tak dapat dibedakan. Nama menandai perbuatan, seumpama cermin, orang yang bercermin dengan bayangannya, pasti tingkah lakunya mengikuti bayangan. Sedangkan perbuatan menjadi wahana Dzat, seumpama samudera dengan ombaknya, pasti keadaan ombak mengikuti perintah samudera."     

Sampai di sini, Somad masih belum memahami betul apa yang diuraikan oleh gurunya itu. Ia masih mencoba mencerna apa yang diucapkan gurunya. Tapi pikirannya belum juga menemukan titik terang.

"Somad, anakku. Jadi, sebelum semua dunia dan seisinya ini ada sudah ada terlebih dahulu Dzat Yang Maha Suci, Dzat yang kadim azali abadi. Yakni Tuhan yang Maha Esa. Sesunggunya hidup kita itu adalah tajallinya Dzat yang Maha Suci itu."

Somad mangguk-mangguk kepalanya seperti burung tekukur yang sedang berbunyi. Kemudian memberanikan dirinya mengangkat kepalanya, matanya berbinar-binar seakan ia telah memahami penjelasan gurunya tapi matanya tak berani menatap langsung gurunya.                                  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun