Pertunjukan malam itu segera dimulai. Â
Seorang perempuan muda berparas ayu, khas pantura, Â membawa buntelan kain terlihat dipegang oleh dua orang laki-laki berpakaian serba hitam. Perempuan muda itu disyaratkan harus masih perawan untuk bisa menjadi penari sintren. Konon sintren itu berarti "dia seorang putri."
Di depan perempuan  muda itu seorang laki-laki dengan kumis dan jenggot yang panjang sedang memegang tempat kemenyan yang terbuat dari tanah liat. Asap kemenyan mengepul menyebar ke segala arah dan baunya memburu setiap lubang hidung. Suasana mistis sangat terasa.
Nyanyian Turun turun sintren Sintrene widadari  terus dialunkan oleh para sinden seakan meminta agar sintren agar cepat beraksi.  Ranggan atau kurungan ayam  sudah siap dengan kain yang menutupinya. Tikar pandan disiapkan untuk membungkus penari sintren yang siap masuk kurungan. Mantra-mantra mengundang roh Dewi Lanjar atau Rr. Rantamsari, Ibunda R. Sulandono yang konon biasa mempertemukan roh anaknya dengan pacarnya, Sulasih, terus dilapalkan oleh ki dalang. Â
Gadis itu berdiri. Kain bercorak batik dibungkuskan ke tubuhnya. Kemudian para laki-laki itu mengikatnya dengan tambang dari kaki sampai leher. Laki-laki berjenggot kemudian menebarkan asap kemenyan ke sekitar tubuh dan wajah gadis itu dan mengusapkan tangannya ke mukanya.
Seketika itu juga, si gadis pingsan terjatuh disangga para lekaki dan membaringkannya di tikar pandan yang sudah disiapkan. Kemudian orang yang berjenggot sebagai dalangnya membukus gadis itu dengan tikar pandan dan memasukannya ke ranggan atau kurungan ayam.
Nyanyian terus dilantunkan dengan iringan musik khas sintren.
Selasih Selasih Sulandana
Menyangkuti ragae sukma
Ana sukma saking surga
Widadari temurunan