"Jika kamu mau, hari ini juga akan Ayah bawakan dua atau tiga cewek yang cantik jauh melebih si penari sintren itu. Tidak hanya itu, mereka juga gadis-gadis yang makan bangku sekolah. Tidak seperti si centil itu." Sungut Ayahnya. Â
"Apakah mereka bisa menari indah seperti Erni?" Indra beranikan diri bertanya sembari mengangkat mukanya. Menatap ayahnya. Dua mata beradu sekelebat. Indra tertunduk lagi, tak berani menatap mata ayahnya yang dipenuhi api amarah seakan menjilat-jilat. Â Â Â
"Memang harus pintar menari?" sungut ayahnya.
"Saya sangat mencintainya, Ayah."
"Tidak! Pokoknya Tidak! Titik!" Braaaak....suara meja di ruangan itu berbunyi keras. Pak Kuwu lepas kendali. Meja di depannya dipukulnya sekuat tenaga.
Indra terperanjat kaget. Dia tak menyangka ayahnya akan semarah itu. Ia hanya diam, mematung.
***
Sementara di rumah orang tuanya, Erni sedang menangis di kamarnya.  Ia teringat almarhumah Ibunya yang setahun lalu meninggal dunia. Biasanya kalau ia sedang ada masalah berat, ia selalu mendekati miminya itu  dan tiduran di pangkuannya sambil berkeluh kesah. Saat seperti itu, miminya menyiraminya dengan kata-katanya yang menyejukan. Ia dengan sendirinya akan mampu memecahkan masalahnya sendiri. Tapi kini, ketika Ibunya telah pergi untuk selama-lamanya, ia hanya bisa menangis sendiri di kamarnya.
"Ya...Allah berilah hambamu ini petunjuk. Jika Kang Indra memang jodohku permudahlah jalanku untuk bersatu. Tapi jika bukan, mohon berilah petunjuk jalan keluar yang baik."
Tak terasa air mata Erni mengalir membentuk parit-parit kecil di pipinya yang subur.
Di ruang tengah rumah, Bapak Erni termenung membeku menyangga dagu.