Mohon tunggu...
Abdurohman Sani
Abdurohman Sani Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa dengan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Roman

Perang Dalam Senyap

27 Oktober 2024   17:42 Diperbarui: 27 Oktober 2024   17:45 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

PERANG DALAM SENYAP

Oleh;

Abdurohman As Sani

Edisi;

Bilba

Prolog Sultan Ageng Tirtayasa:

Baca juga: Bukan Kemilau Kaca

(Suara gamelan mulai terdengar, lembut namun menggema, seolah mengiringi napas terakhir dari seorang pejuang. Nada-nada yang dilantunkan menyerupai desir ombak yang menghempas pantai pada malam hari, membawa bisikan-bisikan dari masa lalu. Tirai perlahan terbuka, memperlihatkan panggung yang tertutup kabut tipis. Kabut itu bergerak pelan, seperti tangan-tangan gaib yang menyapu bekas luka dari sejarah yang tak pernah benar-benar terlupakan. Cahaya temaram menyinari sebuah singgasana tua di tengah panggung, dibalut kain merah pudar. Di atasnya, tergeletak sebuah keris yang berkilauan samar, seakan-akan menyimpan rahasia dari takhta yang dulu kokoh. Di sudut lain panggung, terlihat bayangan burung gagak, terbang melintas di balik cahaya, simbol dari kesunyian dan pertanda buruk.)

Narator: (Muncul dari kegelapan, mengenakan jubah hitam panjang, wajahnya tertutup topeng putih. Suaranya pelan, seperti bisikan dari balik nisan, membawa beban cerita yang hendak ia bagikan kepada malam.)

"Di bawah langit yang terbelah, Aku menyusuri jalan yang tak berujung, Di tiap tapak, bayanganmu meluruh, Seperti daun kering jatuh dari ranting yang rapuh."

Baca juga: Ilmul Yakin

Malam ini, langit terbungkus selimut kelam, Angin laut dari utara membawa serpihan malam, Menyeret sunyi ke dasar jiwa, Menceritakan tentang tanah Banten yang megah... Tanah yang dulunya adalah surga bagi kearifan dan kehormatan, Kini terbelenggu oleh rantai besi dari seberang lautan."

(Narator melangkah ke arah singgasana, mengulurkan tangan seolah ingin meraba dinginnya keris yang tergeletak di sana. Setiap langkahnya memantul di panggung, menciptakan gema yang beresonansi di antara bayang-bayang penonton.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun