(Tirai perlahan tertutup, suara gamelan berubah menjadi denting lonceng yang jauh, seolah menandakan akhir dari sebuah malam yang panjang dan pahit. Panggung kembali ke dalam gelap, menyisakan aroma tanah basah dan nostalgia dari cerita yang tak pernah benar-benar mati.)
Adegan 1: Dialog dengan Bayang-BayangÂ
Setting: Kabut pekat masih melingkupi panggung, mengalir di bawah kaki Sultan Ageng Tirtayasa, yang duduk diam di depan singgasana tua. Di tangannya, keris berkilat di bawah cahaya remang lentera, memantulkan bayangan burung gagak yang tampak hidup di dinding panggung. Dentingan lembut gamelan mengisi udara, seolah tetesan air yang jatuh dari langit kelabu mengingatkan pada malam-malam penuh kesepian yang menyesakkan.
Sultan Ageng Tirtayasa: (suara pelan, dipenuhi perasaan getir)
"Bayang-bayang yang tak pernah pergi... Kau datang lagi, menggulung malam dengan kabar dari angin utara yang membawa hawa dingin dari pegunungan. Kau datang tanpa kata, tapi aku tahu apa yang kau sembunyikan di balik pekatnya malam. Aku tahu... aku tahu betul... bahwa langit tak lagi sama. Bahwa bintang-bintang yang dulu bersinar kini diselimuti kegelapan yang tak berujung."
Sultan Ageng menatap dalam-dalam pada bayangan gagak, burung itu bergerak perlahan, seolah bernafas bersama denting gamelan yang semakin melirih. Ia seolah berbicara pada sosok tak kasat mata yang hadir di depan matanya.
Sultan Ageng Tirtayasa: (matanya menyipit, suaranya bergetar)
"Bayanganmu... bayanganku... selalu hadir ketika bulan bersembunyi di balik awan. Apakah ini caramu memperingatkanku? Apakah kau ingin aku mengerti, bahwa dalam setiap langkah yang kuambil, aku berjalan di atas tanah yang penuh dengan duri? Katakan padaku, wahai kegelapan yang diam di sudut hatiku, apa yang kau saksikan di tanah ini? Apa yang kau bisikkan pada angin malam, yang hanya membisu?"
Bayangan burung gagak bergerak, seolah hidup, meski tetap tak bersuara. Sayapnya yang gelap melintas di dinding, menciptakan bayang-bayang seperti cakaran di atas wajah Sultan Ageng. Ia terdiam, merasakan sakit yang mengoyak dari dalam hatinya.
Sultan Ageng Tirtayasa: (menahan air mata, suaranya semakin serak)
"Ah... pengkhianatan... darahku sendiri... putraku... (menghela napas panjang) Darah dagingku telah berkhianat. Ia menyerahkan Banten, tanah leluhur kita, pada tangan-tangan yang memoles kebusukan dengan emas dan perak. Seperti ular, mereka menyusup dalam malam, menggantikan sinar bulan dengan dusta dan tipu daya. Putraku, apakah emas dan perak itu lebih berharga daripada nurani seorang ayah? Apakah janji manis para pendatang lebih menggoda daripada cinta tanah yang telah kita bela bersama?"