PERANG DALAM SENYAP
Oleh;
Abdurohman As Sani
Edisi;
Bilba
Prolog Sultan Ageng Tirtayasa:
(Suara gamelan mulai terdengar, lembut namun menggema, seolah mengiringi napas terakhir dari seorang pejuang. Nada-nada yang dilantunkan menyerupai desir ombak yang menghempas pantai pada malam hari, membawa bisikan-bisikan dari masa lalu. Tirai perlahan terbuka, memperlihatkan panggung yang tertutup kabut tipis. Kabut itu bergerak pelan, seperti tangan-tangan gaib yang menyapu bekas luka dari sejarah yang tak pernah benar-benar terlupakan. Cahaya temaram menyinari sebuah singgasana tua di tengah panggung, dibalut kain merah pudar. Di atasnya, tergeletak sebuah keris yang berkilauan samar, seakan-akan menyimpan rahasia dari takhta yang dulu kokoh. Di sudut lain panggung, terlihat bayangan burung gagak, terbang melintas di balik cahaya, simbol dari kesunyian dan pertanda buruk.)
Narator: (Muncul dari kegelapan, mengenakan jubah hitam panjang, wajahnya tertutup topeng putih. Suaranya pelan, seperti bisikan dari balik nisan, membawa beban cerita yang hendak ia bagikan kepada malam.)
"Di bawah langit yang terbelah, Aku menyusuri jalan yang tak berujung, Di tiap tapak, bayanganmu meluruh, Seperti daun kering jatuh dari ranting yang rapuh."
Malam ini, langit terbungkus selimut kelam, Angin laut dari utara membawa serpihan malam, Menyeret sunyi ke dasar jiwa, Menceritakan tentang tanah Banten yang megah... Tanah yang dulunya adalah surga bagi kearifan dan kehormatan, Kini terbelenggu oleh rantai besi dari seberang lautan."
(Narator melangkah ke arah singgasana, mengulurkan tangan seolah ingin meraba dinginnya keris yang tergeletak di sana. Setiap langkahnya memantul di panggung, menciptakan gema yang beresonansi di antara bayang-bayang penonton.)