Narator: (membalas dengan suara yang penuh kegetiran, hampir seperti tangisan)
"Jika itu pilihanmu, wahai Sultan, maka bersiaplah untuk menyaksikan malam-malam penuh darah. Bersiaplah untuk mendengar jerit anak-anak yang kehilangan ayah mereka, dan ibu-ibu yang meratapi nasib di bawah bayang-bayang kekuasaan. Setiap langkahmu akan dihantui oleh bayangan yang tak pernah kau inginkan... bayangan dari masa depan yang tak lagi kau kenali."
Sultan Ageng kembali terdiam, tubuhnya gemetar di tengah kabut yang semakin pekat. Bayangan Narator mulai menghilang perlahan, namun kata-katanya masih bergema, meninggalkan kekosongan di hati Sultan. Suara gendang melambat, seolah meniru napas yang berat, melantunkan nyanyian terakhir dari sebuah perdebatan yang belum berakhir.
Sultan Ageng Tirtayasa: (berbisik dalam kesunyian)
"Jika aku harus bertarung di garis takdir ini... biarlah. Biarlah langit menjadi saksi, biarlah bumi menjadi penggali kuburku. Aku akan memilih jalan yang menurut hatiku benar, meski hanya kehampaan yang menyambutku di ujungnya."
Dentuman terakhir gendang bergema, seolah suara denting hati yang pecah dalam keheningan. Sultan Ageng terkulai lemas di tanah, namun matanya masih menyala dengan sisa-sisa api yang belum padam, menatap langit yang dingin di atasnya. Narator menghilang dalam bayangan, meninggalkan Sultan Ageng seorang diri di panggung yang sepi.
Adegan 3: Pengkhianatan dan Doa Terakhir
(Setting: Panggung berubah menjadi ruang pertemuan di dalam istana. Cahaya remang-remang menyorotkan bayang-bayang yang memanjang, mengesankan perasaan sepi dan misteri. Di sebelah kiri panggung, terlihat patung singa, lambang kebesaran kerajaan yang tampak seperti penjaga yang telah kelelahan. Sultan Ageng duduk di depan meja besar yang dihiasi ukiran-ukiran cerita masa lalu, memegang sebuah keris yang berkilau redup di bawah cahaya lilin. Bayangan putranya tampak dari kejauhan, memunggungi Sultan, berdiri di tepi panggung. Bayangan itu seperti menggantung di antara masa lalu dan masa depan, membuat suasana semakin dingin dan sunyi.)
(Suara gamelan berubah menjadi melodi sendu, seperti nyanyian malam yang berkisah tentang kepedihan seorang ayah. Sultan Ageng memandangi bayangan putranya yang membisu. Suaranya pecah di antara kegetiran yang menyesak.)
Sultan Ageng Tirtayasa:
(Menatap ke arah bayangan putranya (imajiner), suaranya lirih namun mengandung kemarahan yang dalam.)