"Apakah ini harga dari sebuah kesetiaan? Kesetiaan pada negeri, kesetiaan pada darah, kesetiaan pada janji-janji yang kugoreskan di altar sejarah? Jika malam ini adalah jawabannya, biarlah aku tenggelam dalam bisu... bersama bayang-bayang yang tak pernah pergi."
Dentang terakhir gamelan menggema, mengiris keheningan malam. Bayangan gagak menghilang perlahan, menyisakan Sultan Ageng yang tampak kecil dan rapuh di tengah panggung yang luas. Ia tetap terdiam, membiarkan luka-lukanya terbuka di hadapan malam yang hanya menjadi saksi bisu penderitaannya.
Adegan 2: Perdebatan dengan Hati Nurani
Setting: Kabut yang belum sepenuhnya sirna menyelimuti panggung, menambah kesan suram di tengah perdebatan batin. Di sisi panggung, Narator (sosok imajiner) muncul dengan jubah hitam yang mengalir seperti bayang-bayang malam, topeng putih menutupi wajahnya, membuatnya tampak seperti sosok tak berwajah yang mengintip langsung ke dalam jiwa Sultan Ageng. Tabuhan gendang bergema lembut, iramanya mengikuti detak jantung yang tak menentu, mengiringi suasana yang semakin mencekam.
Narator : (berbisik dalam nada yang dalam, seperti suara yang berasal dari lubuk hati)
"Ada dua jalan di hadapanmu, wahai Sultan... Jalan darah yang berliku, jalan yang ditinggalkan para leluhurmu, penuh luka namun bermandi cahaya kebebasan... atau jalan penyerahan, jalan yang ditawarkan putramu, sebuah jalan yang lembut namun berbalut duri-duri pengkhianatan. Apakah kau siap menanggung beban dari setiap langkah yang kau pilih? Siapkah kau menyaksikan saudara-saudara saling merebutkan tanah air di bawah panji yang sama, dengan pedang yang terhunus untuk darah saudaranya sendiri?"
Sultan Ageng Tirtayasa berdiri di tengah panggung, tangannya menggenggam keris yang berkilat dalam temaram cahaya. Matanya menatap Narator dengan tatapan yang penuh amarah, namun di sana terselip keraguan yang menggelisahkan. Tubuhnya terlihat kokoh, namun bayangan kegamangan menghantuinya.
Sultan Ageng Tirtayasa: (suara menggelegar, namun ada celah kepedihan yang tak bisa ia sembunyikan)
"Tapi apa arti sebuah perdamaian jika ia dibangun di atas dusta dan pengkhianatan? Apakah aku harus menyerahkan tanah ini... tanah yang diwariskan oleh leluhur, hanya demi senyum palsu dari para pendatang yang membawa racun di balik senyumnya? Aku telah berjanji pada tanah ini, bersumpah di hadapan Tuhan, bahwa aku akan menjaga kehormatan Banten dari mereka yang ingin merampasnya. Aku tak bisa menyerah begitu saja, tak bisa membiarkan tanah ini terbelah oleh tangan-tangan yang mencuri masa depan kami."
Suaranya bergetar ketika menyebut "Tuhan", seolah mengingat janji suci yang pernah diikrarkannya di hadapan Sang Pencipta. Sultan Ageng menggenggam keris lebih erat, seolah menggenggam sisa-sisa kekuatannya. Namun, Narator melangkah mendekat dengan tenang, seperti bayangan yang menyatu dengan malam.
Narator: (suaranya seperti bisikan angin yang merambat ke seluruh sudut panggung)