"Kau tahu, rembulan tak lagi bundar malam ini, Ia tergores oleh cahaya yang tajam, Seperti mata pisau yang mencabik-cabik pelukan. Dan aku, hanya bisa menatapnya diam. Sultan Ageng Tirtayasa, benteng terakhir yang melawan arus deras keserakahan. Di hadapannya ada dua jalan: Jalan penuh darah dan tangis yang ditempuh oleh leluhurnya, Atau jalan putranya, yang menyerahkan pedang demi secuil kedamaian semu."
(Narator berhenti sejenak, suaranya melembut, seolah-olah merasakan kegetiran yang mengalir dari setiap kata yang ia ucapkan. Ia mengangkat keris dari singgasana, memegangnya di depan wajahnya, mengamati kilauan yang memantulkan cahaya redup.)
"Kata-kata menggulung seperti ombak, Memukul karang hingga retak, Namun di dalam dadaku, Hanya ada riak kecil yang tak pernah beranjak. Seperti Yusuf yang menghadapi pengkhianatan dari saudara-saudaranya Dan tetap memilih jalan pengampunan dan kebenaran, Sultan tahu bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada takhta atau darah, Tetapi pada keadilan yang harus ia pertahankan bagi rakyatnya."
(Ia kembali mendekati singgasana, lalu menunduk, menempelkan telinga ke tanah, seolah mendengar bisikan dari roh-roh para leluhur yang pernah menjaga tanah ini.)
"Kepada luka, aku menitipkan sapa, Kepada rindu, aku memintal kenangan yang hancur. Namun pada akhirnya, hanya sepi yang tersisa, Menari di antara serpihan cahaya yang pudar. Banten... engkau pernah menjadi rumah bagi para pengelana, Namun kini, engkau diselimuti oleh kabut hitam, Oleh bisikan-bisikan dusta yang datang dari balik layar persekutuan."
(Narator berbalik menghadap penonton, tangannya menggenggam erat keris itu, seakan sedang berusaha menahan pecahan-pecahan hati yang hendak jatuh.)
"Malam ini, hujan turun seperti air mata, Mengisi retakan-retakan di tanah, Mengaburkan jejak yang pernah kita tinggalkan. Dan seperti Nuh yang harus melihat anaknya tenggelam dalam banjir, Sultan Ageng menyaksikan putra sulungnya tenggelam dalam ilusi kekuasaan. Apa yang lebih menyakitkan bagi seorang ayah, Daripada melihat darah dagingnya sendiri berdiri di sisi musuhnya?"
(Gamelan berhenti sejenak, meninggalkan keheningan yang mengiris. Narator melangkah mundur, menatap singgasana kosong yang terlihat lebih sunyi daripada sebelumnya. Topengnya berkilauan samar di bawah cahaya.)
"Aku menunggu di sini, Di bawah pohon tua yang tak lagi berbunga, Memeluk sisa-sisa mimpi yang terbakar, Sambil berdoa pada Tuhan yang diam di balik tabirnya. Malam ini, kita akan menyaksikan lebih dari sekadar darah yang tumpah, Lebih dari sekadar benturan pedang dan peluru. Kita akan melihat jiwa-jiwa yang terbelah, Di dalam kesunyian yang mencekam ini, Kita akan mendengar suara-suara yang tak pernah terucap, Tangisan yang tersembunyi di balik senyuman seorang raja."
(Suara gamelan perlahan kembali mengalun, kali ini lebih suram, seperti ratapan burung hantu yang mengiringi kepergian malam. Narator mengangkat tangan, memberikan penghormatan terakhir kepada singgasana dan keris di hadapannya, sebelum melangkah perlahan ke balik bayangan, meninggalkan panggung.)
"Dengarkan, dan saksikan... kisah ini bukanlah tentang menang atau kalah, Tetapi tentang manusia yang mencoba mencari cahaya di tengah malam yang tak berujung. Sebuah pertarungan dalam senyap, Di mana setiap pilihan adalah luka, dan setiap luka adalah sebuah pengorbanan."