Mohon tunggu...
Abdurohman Sani
Abdurohman Sani Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa dengan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Roman

Perang Dalam Senyap

27 Oktober 2024   17:42 Diperbarui: 27 Oktober 2024   17:45 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

"Tapi siapakah yang kau lawan, wahai Sultan? Apakah musuhmu berada di seberang lautan, atau justru bersembunyi di balik daging dan darahmu sendiri? Apakah kau tidak melihat, bahwa dalam bayangan yang kau benci, terdapat wajah anakmu sendiri? (Narator mengangkat tangan, seolah meraba bayangan di udara) Apakah kau berani menghadapi takdirmu, ketika tangan Tuhan telah menuliskan segalanya di atas kertas waktu? Ketika jalanmu telah ditetapkan sejak embun pertama jatuh di bumi ini, apakah kau ingin melawan arus yang tak terlihat?"

Sultan Ageng terpaku, kata-kata itu seperti belati yang menancap dalam jiwanya. Suasana panggung semakin mencekam, tabuhan gendang menggema lebih keras, seperti irama yang mengikuti denyut nadi yang semakin kencang. Cahaya lentera bergetar, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding panggung, seolah ikut menyaksikan perdebatan ini.

Sultan Ageng Tirtayasa: (mengerutkan wajahnya, matanya dipenuhi kegetiran)

"Tidak... tidak! Aku tidak percaya bahwa takdir ini harus menjadi neraka bagi rakyatku! Aku tidak percaya bahwa keadilan yang Allah janjikan harus kutukar dengan air mata dan darah anak-anak negeri ini! Aku mungkin tak seteguh sang khalilullah, tak sekuat sang kalamullah, tak setangguh Nuh diatas bahteranya, Aku hanya manusia, daging yang rapuh, hati yang penuh luka, juga seorang ayah, yang pernah menggendong putraku dengan tangan ini, yang pernah melihat matanya bersinar oleh harapan masa depan. Namun bukankah aku adalah umat sang pehulu para nabi Salallahu Alaihi Wassalam (suara mulai pelan penuh rasa hormat) Aku Seorang Pelindung, yang harus menjaga rakyatnya dari tangan-tangan kotor. Aku tidak ingin, aku tidak bisa, menyerahkan nasib mereka kepada tangan-tangan yang merampas mimpi-mimpi mereka duhai kekasihku Salallahu Alaihi Wassalam (berbisik menghiba)."

Sultan Ageng jatuh berlutut, keris di tangannya gemetar, seolah ia ingin menahan air mata yang mendesak keluar. Ia memandang Narator dengan sorot mata yang tajam.

Narator: (menunduk, berbicara lebih lembut namun tetap tajam)

"Apakah kau tidak melihat, wahai Sultan? Bahwa luka di hatimu bukanlah hanya luka seorang ayah, tapi luka seorang pemimpin yang harus memilih antara keadilan dan cinta. Jika kau memilih melawan, darah akan tumpah, dan setiap tetesnya mungkin akan menjadi dosa di pundakmu. Tapi jika kau memilih damai, kau harus merelakan kehormatan yang telah kau bela dengan nyawa. Setiap pilihan adalah pedang bermata dua, dan kau tak bisa menghindarinya."

Sultan Ageng terdiam, memandang keris di tangannya, logam dingin yang kini terasa seolah membakar kulitnya. Ia memejamkan mata, mendengar gemuruh gendang yang seakan mencerminkan kepedihan hatinya. Suara gamelan menggema kembali, lebih keras dan bergetar, seperti tangisan langit yang tak pernah mampu ia dengar.

Sultan Ageng Tirtayasa: (suaranya nyaris hilang di tengah dentuman gendang)

"Ya Rob, ini adalah taqdirmu, maka aku akan memikulnya, meski beratnya menghancurkan pundakku. Aku akan menanggung setiap tetes darah yang mengalir, setiap air mata yang jatuh di tanah ini. Meski harus melawan bayang-bayang yang mencekik jiwaku... aku tak akan tunduk begitu saja. Aku akan bertahan, demi negeri yang lahir dari tetesan keringat leluhurku."

Ia menekan keris ke dadanya, bukan untuk melukai, tapi untuk merasakan dinginnya logam yang seolah mewakili beban yang harus ia tanggung. Matanya terbuka, menatap Narator yang masih berdiri di hadapannya, sosok tanpa wajah yang memantulkan kekosongan hati nuraninya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun