Sultan Ageng berdiri perlahan. Langkahnya berat, seolah setiap langkah adalah tusukan duri yang tertanam dalam jiwanya. Ia berjalan menuju singgasana tua, meraba-raba ukirannya yang kini penuh retakan, seolah menelusuri sejarah yang mulai pudar. Jari-jarinya menggenggam erat keris di tangannya, merasakan dinginnya logam yang pernah memanas oleh darah para penjajah.
Sultan Ageng Tirtayasa: (menatap keris itu dengan tatapan kosong)
"Keris ini... bukan sekadar senjata. Ia adalah suara dari masa lalu, saksi dari darah yang tertumpah di tanah ini... oleh tangan-tangan yang tak rela dijajah. (menggenggam keris lebih erat, hingga jemarinya memutih) Dulu, ia meneteskan darah demi kebebasan, demi kehormatan yang menjadi nafasku, menjadi nafas kita. Tapi kini, ia hanya sebatang besi yang dingin, yang mengingatkanku pada luka-luka yang tak bisa sembuh. Ah... betapa tajamnya ia, betapa dinginnya malam yang merasuki hatiku."
Sultan Ageng menunduk, membiarkan keris itu menggantung di ujung jemarinya, seolah keris tersebut membawa seluruh beban dunia. Bayangan burung gagak itu semakin besar, mencakup seluruh dinding di belakangnya, menciptakan ilusi bahwa sosok Sultan Ageng sedang ditelan oleh kegelapan.
Sultan Ageng Tirtayasa: (suara parau, penuh keraguan dan kepedihan)
"Apakah aku harus melepaskan semuanya? Haruskah aku mengubur kebebasan ini, menyerahkan tanah ini demi perdamaian yang hanya fatamorgana di tengah gurun? Ataukah aku harus tetap menggenggam keris ini, meski yang akan kutusuk adalah darahku sendiri? Ya Allah... (menerawang ke atas, suaranya semakin parau) Kau adalah saksi dari setiap luka di dada ini, Kau yang tahu betapa pedihnya menyaksikan anakku memeluk musuh yang datang dengan senyum beracun."
Sultan Ageng mengangkat keris ke dadanya, mendekatkannya pada jantungnya sendiri, seolah merasakan dinginnya besi yang menusuk jiwanya. Udara di sekitar panggung terasa menekan, seolah waktu berhenti untuk menyaksikan detik-detik keputusannya.
Sultan Ageng Tirtayasa: (berbisik lirih, nyaris tak terdengar)
"Jika aku menutup mata malam ini, biarlah angin membawa kesedihanku ke setiap sudut negeri ini, biarlah hujan menyirami tanah ini dengan air mataku. Aku hanyalah seorang ayah yang merindukan putranya kembali, yang berharap pada keadilan yang semakin terkekang. Tapi aku juga seorang raja... yang terlahir untuk memegang pedang, meski tangannya gemetar oleh cinta pada darahnya sendiri."
Ia jatuh berlutut, keris masih tergenggam, tapi kekuatan di tangannya telah lenyap. Ia menundukkan kepala, membiarkan bayangan burung gagak itu menelannya. Udara terasa beku, dan di kejauhan terdengar suara seruling yang menyayat, seperti tangisan malam yang terputus di tengah keheningan.
Sultan Ageng Tirtayasa: (suaranya bergetar, penuh air mata)