Aku akan selalu menunggu kepulanganmu di bawah kaki langit yang sama."
Theo terdiam.
Mega bersiah, semestra raya bersua. Angin berbisik mendendang tembang cinta, sama bisingnya dengan suara nasib manusia. Perpisahan itu tidak meninggalkan secercah penyesalan. Kami sama percaya, pendahuluan senantiasa berlanggaran dengan epilog. Dunia jauh lebih adil dari yang kebanyakan orang kira.
Tanpa perlu kata di cakrawala aksara.
**
Pria itu melepas helm full face-nya, menatap kedua insan di perbatasan lini antara laut dan bumantara. Senyum takzim tak tertanggal dari bibir.
"Aku harap kamu menyadarinya, bahwa yang kamu cintai... tidak pernah aku."
Bahwa eksistensi Abhimanggala semata ekspektasi wanita tersebut kepada suaminya. Segala rasa, semua tatap, setiap laku Resia terhadap Abhi sesungguhnya menyandarkan harapan wanita itu untuk satu orang. Semesta memanjatkan novena. Intensinya terwujud.
Dari jauh, Abhi memperhatikan spasi yang dahulu berekspansi kini mulai berdekadensi, meminimalisir jaraknya menjadi suatu padanan sajak yang pas. Dua individu di sana serupa terma satu dengan terma lainnya yang disatukan oleh spasi. Tanpa spasi, kata-kata tersebut memang bercerita, tetapi tidak lagi bermakna karena tak terbaca. Spasi itu akan tetap ada untuk meriakkan prosa transenden di mahligai kehidupan, menahbiskan kedigdayaan primordial.
Dan tanpa sepengetahuan siapa pun, malam itu, Theo memimpikan hal yang sama dengan Resia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H