Mohon tunggu...
Made Dike Julianitakasih I
Made Dike Julianitakasih I Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Made Dike Julianitakasih Ilyasa. Pegiat Komunitas Ruang Imajinasi Sastra IMM FAI UMY. Pernah Meraih Juara Penulisan Cerpen Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (PEKSIMINAS) Kemdikbud

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerpen "Spasi"

10 Mei 2023   06:52 Diperbarui: 16 Mei 2023   19:12 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu prevalensi tersendiri selagi dalam masa stagnasi bahkan dekadensi kewarasan, aku menekan tombol spasi berkali-kali. Ada semacam ketenangan bayan yang menjamah. Aku tersenyum miring. Sempat terlintas ide menyambung hidup dengan menulis saja tapi yang bisa kutuangkan di atas bidang putih itu hanya guratan-guratan spasi yang terang tak terbaca oleh siapa pun.

Dok! Dok! Dok!

"Non! Nona Theresia!" Aku terkesiap oleh teriakan banter Bi Ine, lekas mengayun daun pintu yang habis diketuk---nyaris digedor.

"Ada apa, Bi---?"

"---nggak apa-apa, Mas. Saya bisa sendiri," tandas Theo menghindari Mas Topik, tukang kebun rumah kami yang terus mengikutinya. Aku belum paham betul situasi ini sampai kulihat Theo semakin dekat.

Kedua mataku membeliak. Segera kuhampiri Theo, tanpa tedeng aling-aling menyingkirkan surai dark caramel-nya yang menghalangi dahi. "Kamu kenapa?" tanyaku tergesa. Darah segar mengalir hingga pelipis.

Theo menepis tanganku cepat. "Minggir," desisnya tak sabar.

Seperti ia tidak peduli akan kehadiranku, seperti itu pula aku tak mengindahkan titahnya. "Nggak usah neko-neko. Lima menit ke depan kamu masih sanggup berdiri, saya kasih sepuluh jempol. Yang sayangnya cuma ada empat." Aku menoleh pada Mas Topik, Bi Ine, dan orang-orang rumah lainnya yang mengelilingi kami bak sesajen. "Tolong tinggalkan kami berdua," ucapku menenangkan, lekas mereka kembali ke pekerjaan masing-masing.

Theo menyeka darah dengan lengan kemeja, jas hitam tersampir di pinggangnya. "Ini tidak tersurat di perjanjian yang sudah kita sepakati," ujarnya keras kepala menanggapi lakuku.

"Kalau begitu, anggap saja ini sandiwara persis yang tertera di piagam tersebut," ujarku tak kalah keras kepala. Theo kontan mendengus keras. Aku cukup sadar diri untuk tidak sesuka hati menyentuhnya tanpa lihat-lihat situasi sesuai perjanjian kami. Tapi---hey, ada orang terluka di hadapanku dan dia menyuruhku diam? Yang benar saja!

Ia langkahkan kedua tungkainya melewatiku. "Sekali kamu melanggar kesepakatan kita," lantang, ia berkata, "tuntaskan semua kontrak bisnis antara keluargamu dan saya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun