Di luar dugaan, reaksi Theo terbilang simplistis. Seakan itu bukan suatu rahasia atau perbuatan diam-diam.
Menginterupsi jeda, dering ponsel memekik seperti kambing disembelih. Theo pamit permisi untuk menjawab sebentar. Omong kosong, aku justru mendamba saat-saat ini. Bintang gemintang di waktu duha yang hanya diriku seorang bisa melihatnya.
Tinggal aku dan Abhi.
Abhi menatapku lurus-lurus, senyum hangat yang kerap menghiasi roman kaukasoidnya sirna. Ini bukan dia yang biasanya. Jantungku spontan menggelegak dengan tempo cepat.
"Resia," Abhi menyebut namaku tegas, tidak pernah ia begini sebelumnya. "Saya percaya kamu nggak akan berbohong, pertemanan kita terlalu suci untuk itu. Tapi saya tetap ingin meminta kejujuran dari kamu." Aku diam, bukan bermaksud mempersilakan namun Abhi seakan tidak mengindahkan canggung yang menjelanak tiba-tiba. Atau aku saja yang merasa demikian?
"Kapalmu itu...," Abhi menjeda sejenak. "...kau labuhkan di dermaga mana?"
Aku tergemap.
Abhi menyentuh titik sensitif kegamanganku.
**
Linear berbagai formasi tanpa ampun menggilas kekosongan kertas putih, tangan ini tak henti-hentinya menghabiskan granit. Sekali membuat, sekali dibuang. Dua kali membuat, dua kali pula dibuang. Kamar interior klasik berkonversi menjadi gudang remukan daluang. Tidak satu pun desain kemasan parfum mencapai idealita. Semestinya pekerjaan ini tidak sesukar itu.
Lelah, kuhempaskan badan ke kasur. Kata-kata Abhi menggerayang nista bagai kutu air. Dan maksud sebenarnya dari kalimat dia sepagi tadi tak lain adalah: Kepada siapa hati ini kulabuhkan? Kepada mata mana pandangan ini terpasak? Lebih spesifik lagi, siapa yang sesungguhnya kucintai? Kalau sudah begitu, satu-satunya supresor terbaik untuk pikiranku yang tiada berpawang ialah... spasi. Benar. Spasi. Aku butuh spasi. Beranjak dari tempat tidur, segera kujatuhkan diri di depan komputer, menggiring tetikus menuju Ms. Words. Tuts spasi kutekan bertalu-talu, serta merta pikiran-pikiran kalut beringsut surut.