"Kenapa mendadak begitu?"
"Mendadak?" Theo balik menatapku heran, lantas mengedikkan bahu. "Saya kira dia belum tahu kabar pernikahan kita."
Salah tingkah, mataku merambat ke mana-mana, tidak ingin menatap langsung kedua netra karamel itu. Abhi adalah sahabat Theo, wajar ia ingin menyambanginya sesekali. Tidak ada yang ganjil. "Saya harus ikut?" tanyaku enggan.
Theo tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. "Besok, jam tujuh pagi," tandasnya, tidak memberi ruang penolakan macam apa pun.
Aku mendesah, terlampau lembam memberi tahu Theo kesempatanku bertandang ke kuil kemarin lusa---mengabari berita asam kecut pahit asin tidak ada manis-manisnya itu. Momentum perjumpaan dengan Abhi sungguh menjelma buaian ekstasi, menggayang akal. Namun bayang-bayang menemuinya bersama Theo membelokkan sensasi tersebut berpotensi memuakkan.
Persetan, batinku tidak peduli. Kami hanya perlu memainkan peran masing-masing sebaik mungkin di panggung sandiwara. Tidak lebih, dan tidak kurang.
**
Kedatangan kami di kuil yang merangkap wisma Abhi itu disambut ramah oleh keluarga barunya. Orang-orang berkepala plontos silih berganti menyapaku dan Theo, menyajikan beberapa kudapan sederhana yang tidak menggugah selera. Aku melengos, tak bolehkah kubawa pulang kudapan di hadapanku saja, penghuni langit yang menjelma sesosok biksu muda? Akan kunikmati tiap detail kurva segmennya dengan khidmat serta kehati-hatian.
"Pertama mendengar kabar itu, saya senang sekali," ujar Abhi tulus. "Bukan kebetulan kalian menemui saya hari ini."
"Pertama?" Theo mengangkat sebelah alis.
"Kemarin Theresia bertandang kemari."