Sungging di sudut bibir tak suah lipur dari roman sejuk Abhi. "Titip salam untuk Theo, ya. Jangan sungkan mampir ke sini sesekali."
Momen singkat dengan Abhi berlalu sedemikian ringkas. Ah, bahkan waktu tiada sudi menjatah sejumput keleluasan haknya buat kita bersama lebih lama.
Andai aku cukup terhormat untuk menjadi satu-satunya yang layak menjarah kesucian dari figur puritanmu, menggubah secercah noktah di kanvas putih itu. Mencintaimu, menyadarkanku bahwasanya diri ini tak ubahnya binatang jalang di aspal jalanan.
**
Tidak seperti habituasi kalangan aristokrat lainnya yang menghabiskan seminggu hingga beberapa pekan bulan madu, aku dan Theo justru memanfaatkan betul waktu luang untuk bersantai. Kadang kulihat ia berenang sendirian di kolam renang belakang rumah, atau bermain catur dengan Pak Kasim, tak jarang memenjarakan diri di perpustakaan pribadi. Tenggelam ditelan ragam diktat dan referat.
Sedangkan aku kencan buta dengan khayalan-khayalan nista tentang seorang biksu di kuil sana, koleksi film romansa menjadi candu tersendiri bagiku. Bayangan masa depan seketika menyelinap: sampai kapan terus begini? Kukira umur manusia habis dalam sekejap mata sehingga tinggal di bawah atap yang sama dengan Theo tak akan terasa selama itu. Ternyata lebih buruk. Satu malam benar terasa satu eon. Aku bahkan seperti sanggup merasai residu menjalari epidermis, perlahan menggerogoti ubun-ubun hingga ujung kuku.
Ketukan pintu kayu menyudahi pikiran buntu yang tak bergegas buntung. Aku melangkah malas, derit pintu terdengar lebih merdu daripada sebaris kalimat:
"Tuan Theodorus menunggu anda di ruang kerja beliau, Nona."
**
"Menemui Abhi?" Kedua alisku kontan terangkat.
Theo tidak menggubris pertanyaan retorisku. "Abhi tidak bisa leluasa keluar kuil, sebaiknya kita yang berkunjung langsung ke sana."