Ia tersenyum hangat, berkebalikan dengan udara malam yang menyayat. "Aku nggak akan pernah sanggup mencelakai seseorang yang dilindungi Abhi seutuh hidupnya...," bisik Theo. Kersuk angin menyelisip hening yang menggantung rikuh.
Aku membenci dia, dan selalu demikian. Tak pelak lagi diriku menghambur ke pelukannya; sebenar-benar rumah berpulang. Raksi Yves Saint Laurent menggelitik indra penciuman. Peduli setan tentang perjanjian itu, sandiwara yang gagal kita mainkan. Tidak ada jarak, apalagi sekat. Tidak ada spasi.
"Sampai kapan negara tega merebut sesuatu yang berharga bagiku?" Kubenamkan wajah di dadanya, tak sebulir air mata pun mengaliri pipi. "Haruskah kamu bertolak dariku, sebagai agen rahasia mereka?"
Canggung, Theo balas mendekap. Dagunya mendarat pelan di pucuk kepalaku. Satuan waktu mempersembahkan detik-detik yang menjemukan.
Ia menghela napas seraya memejamkan mata. "...Berhasil tak dipuji, gagal dicaci maki, hilang tak dicari, mati tak diakui. Aku nggak mungkin membiarkan kamu terlibat lebih jauh lagi dengan hidupku yang sarat kematian. Nggak, selama kamu masih jadi tanggung jawabku."
Aku mendongak tanpa melepas pelukan itu. Jangan-jangan semua sandiwara ini... semata untuk melindungiku?
"Sebuah akhir membawa kita pada awal yang baru. It's not like I will die right away," seloroh Theo hambar yang sama sekali tidak lucu didengar. "Baik-baik sama Abhi," lanjutnya. Aku memberengut.
"Daritadi Abhiii terus. Abhi ini, Abhi itu, Abhi anu, apaan sih?" Pelukan pun terlepas. "Kamu... nggak berpikir aneh-aneh tentang sesuatu di antara kami, kan?"
Theo malah menatap heran, sontak memandang sembarang. Tidak fokus. Aku menduga dia betulan berpikir yang iya iya.
"Yang selama ini kamu... ehm, sukai, memang Abhi... bukan?" tanyanya terbata, salah tingkah mengusap tengkuk yang tidak gatal. Well, situasi ini cukup menjengkelkan.
"Obsesi masa lalu," jawabku ketus. "...atau ekspektasi fiktif, sudahlah.