Theo pun berlalu.
Seperginya dia dari sisi, kuhantam tembok keras-keras. Dosa apa aku harus bertahan seumur hidup dengan manusia arogan seperti itu? Mengutuk semesta, menyalahi takhta. Zaman kian berotasi, namun kita tiada mau berlari. Dimensi mana lagi yang akan kamu singgahi, bila bahu ini tak pernah menjadi sanggah bagimu? Sebentuk gletser beranjak memerangkap rohani, meninggalkanku berjasad tanpa jiwa. Sialan! batinku memaki-maki. Kalau proyek kemasan parfum ini berhasil, bisa dipastikan dalam termin dekat kuajukan putusan kontrak bisnis dengannya. Semakin cepat, semakin bagus. Derap langkah menggema sepanjang jalan seisi rumah. Menyisir halaman belakang, bulan menyabit nyalang.
Aku menyipitkan mata, seorang pemuda berbaring di gazebo dalam temaram malam. Theo. Tanpa ragu kudekati sosok tersebut. Potret dirinya terlelap memikat atensi. Kedua alis itu berkerut-kerut, garis roman yang senantiasa tegas dan dingin memerikan kuyu. Pundak yang biasa tegap nampak lelah memikul beban tak kasat mata, tatapan tajam luput tersaput kelopak netra. Kurebahkan diri di sebelahnya. Andai lavaku mampu meruntuhkan gletsermu tanpa mesti kau terlelap terlebih dahulu, tak akan sekat tega menggarisi jarak antara kita.
Angin malam meluruhkan kesadaran. Lamat-lamat kurasai tangan hangat membelai puncak kepala, menggiring ke ribaan singgasana alam bawah sadar.
**
"Abhi!"Jembatan mulai retak menggetarkan segala."Tunggu! Aku---"
"Resia, dengarkan aku!" Abhi lekas memotong. "Ini yang terakhir..."
Turbulensi pijakan memecah gerakan. Sepuluh detik, tamat sudah. Aku mengejar ketertinggalan yang tak mungkin.
"Tolong...," desisnya tertahan. "Cintai dia, demi aku..."
Sia-sia. Tanganku tidak sampai jangkauannya. Tubuh itu lenyap ditelan kekosongan.
**