Hari itu sedang ada latihan tari wayang wong untuk persiapan pementasan pujawali di Pura Ratu Gede Sambangan.
"Baiklah, beri aku waktu. Aku akan mempersiapkan segalanya. Aku akan bertanggungjawab." jawab Anak Agung Oka.
"Aku akan menunggumu mas. Aku akan menyimpan rahasia ini untuk kita berdua. Untuk anak kita." jawab Ayu Candrakasih bahagia.
Mereka berdua saling berpelukan.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Sekarang tepat bulan kedelapan kehamilan Ayu Candrakasih. Bayi dalam perutnya terlihat sehat. Meski hampir tiap hari Ayu Candrakasih mengalami tekanan batin dari keluarganya. Keluarga Kasta Kesatria yang terpandang di Buleleng. Seiring membesarnya perut Ayu Candrakasih, membesar pula mulut -- mulut para tetangga. Menggunjingkan siapa bapak dari bayi yang dikandung Ayu Candrakasih.
Suatu hari ayah Ayu Candrakasih murka. Kesabarannya kini telah habis. Ia tidak mampu memaksa Anaknya untuk membuka mulut. Sehingga ia memutuskan untuk membawa putri mereka ke sebuah pura di lereng gunung yang cukup terjal.
"Ikut Aji sekarang..." ucap Cok Raka.
"Tapi Aji... Aku sedang hamil besar." ucap Ayu Candrakasih pelan. Memohon belas kasih Ajinya.
"Lebih baik kau melahirkan dijalan daripada didalam rumahku ini." ucap Cok Raka dengan muka penuh amarah. Ayu Candrakasih tak kuasa melawan. Hanya airmata menetes dari ujung kedua matanya.
Bagi Ayu Candrakasih, murka Ajinya tidak seberapa. Rasa cintanya kepada Anak Agung Oka yang menguatkan hatinya. Membuatnya tegar menjalani hidupnya. Ayu Candrakasih tidak takut. Bahkan meskipun bumi menolak jasadnya, ia akan selalu mencintai lelaki pujaannya itu. Apalagi kini dirinya tengah mengandung buah cinta mereka berdua.
***