“Di… Dimana aku ?” ucap Supardi terbata – bata.
“Kakang, kau aman disini”
“Sar… Sartini… maafkan aku, aku tak bisa membawakan ikan yang banyak untukmu” ucap Supardi terbata – bata sedikit ketakutan.
“Tenang Kakang, aku bukan Sartini istrimu,” jawab wanita itu.
“Siii… sii.. siapa kamu? Dimana diriku.?” tanya Supardi ketakutan sambil memandangi sekelilingnya dengan tatapan kebingungan.
Supardi berhak untuk merasa bingung bercampur takut. Bukan karena sebab, kebingungan yang Supardi rasakan saat ini adalah karena kini ia sedang berada di sebuah tempat yang terasa asing baginya. Sebuah tempat yang belum pernah ia kunjungi seumur hidupnya.
Sejauh matanya memandang, yang ia temukan hanyalah dinding kecoklatan yang terbuat dari batu cadas kali yang cukup keras. Tak ada jendela ataupun sesuatu yang bisa membuat cahaya bisa masuk ke dalamnya.
“Bau apa ini ? sepertinya aku mengenal bau ini ? Dimana aku sekarang ? Dimana akuuuuuu….!” teriak Supardi dengan teriakan yang keras dan semakin menjadi.
“Tenang Kakang, ini aku Centhini, Kakang sekarang berada di istanaku.” ucap Centhini dengan lembut sambil mengusap – usap rambut Supardi agar ia tenang.
“Istanamu? Mengapa disini sangat amis?” tanya Supardi keheranan dengan mata tak berhenti bergerak – gerak sedikitpun.
“Iya Kakang, kau sekarang berada di istanaku. Istana para ikan. Ikan yang sering kau tangkap tiap sore.”ucap Centhini.