***
“Ibu, kenapa lagi ibu datang kemari hah?” bentak Santi – anak tertuanya.
“Maafkan aku nak, ibu terpaksa. Ibu tak sanggup lagi merawat bapakmu yang sakit – sakitan itu” ucap Sriani.
“Aaaahhh…. Itu cuma alasan ibu saja. Bilang saja ibu kemari karena ibu ingin menghindar dari tanggungjawab ibu merawat suami. Iya kan?” bentak Santi sambil membelalakkan matanya.
“Bukan nak, sungguh ibu tidak seperti itu” ucap Sriani memelas. Seolah memohon iba anaknya.
“Kedatangan ibu kemari cuma menambah beban keluargaku. Menambah porsi makan keluargaku. Menambah pengeluaranku. Mengurangi beras dan jagungku. Suamiku sendiri juga sudah jarang pemasukan sekarang. Hasil kebunnya mulai seret seseret aliran air di sawahnya. Jadi terpaksa aku harus berhemat. Berhemat segalanya. Tapi ibu malah datang menambah beban keluargaku. Aaaahhhh…. Mimpi apa aku kemarin bu !” ucap Santi sambil menekan – nekan kepalanya yang mau pecah, siap mengeluarkan isi dalam kepalanya yang sudah penuh dengan masalah.
“Tapi nak, apa kau tidak bisa memberikan tumpangan kepada ibumu ini walau hanya sejenak? Nanti kalau kakakmu sudah mapan, ibu akan pindah dari sini” ucap ibunya dalam kepasrahan.
“Baiklah bu, aku bersedia menampung ibu. Tapi….” Ucap Santi tersendat.
“Tapi apa nak?”
“Aku mau ibu jadi pembantuku dirumah ini!”
Mendadak hening, tak ada suara. Hanya desiran partikel di udara memenuhi ruang tamu berukuran 3x3 meter itu. Dengan mata berkaca – kaca seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan, Sriani diam. Diam dalam ketidakberdayaannya melawan anak kandungnya sendiri. Anak yang sudah menghisap air susunya, anak yang sudah merampas malam – malamnya untuk sekedar bangun menyusuinya, anak yang sudah memeras keringatnya selama puluhan tahun agar ia dapat makan sesuap nasi.