Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menghemat Kematian

22 Maret 2016   18:33 Diperbarui: 22 Maret 2016   18:37 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Sudah pak, aku minta cerai”

“Apa? Kau meminta cerai disaat kondisiku seperti sekarang ini? Wanita macam apa kau ini?” ucap Sarjito seraya menahan sesak di dada.

“Iya pak, aku tidak mau merawatmu lagi. Cukup sudah penderitaanku. Aku sendiri sakit – sakitan, ditambah penyakitmu makin lama makin parah. Anak tak tahu dimana. Semua pergi tanpa jejak. Seolah – olah menutup mata atas keadaan kita!” bentak istri Sarjito.

“Ceraikan aku!”

Seminggu setelah pertengkaran hebat itu, keadaan rumah Sarjito sepi. Tidak ada lagi keluarga atau anak kandung Sarjito yang berkunjung kerumah seperti yang biasa mereka lakukan. Bahkan dari luar nampak pintu rumah yang seperti terkunci. Rumah yang mati. Tak ada bau napas, tak ada aroma kehidupan. Sunyi, sepi dan mati.

“Eh ngomong – ngomong bagaimana keadaan Pak Sarjito sekarang ya?”

“Aku tak tahu, sudah seminggu ini aku tak melihatnya keluar”

“Anak dan menantunya?

“Hilang ditelan bumi”

“Istrinya?”

“Minggat. Tak tahan dengan keadaannya yang makin lama makin parah. Bau. Layaknya mayat hidup”

“Kasihan”

“Terus, bagaimana nasib rumah yang besar itu sekarang? Siapa yang merawatnya? Apakah Pak Sarjito sanggup membersihkannya sendirian?”

“Itulah, aku juga merasa risih jika lewat depan rumahnya. Kemarin saja waktu habis belanja dari pasar, aku mencium bau aneh”.

“Bau kemenyan maksudmu? Hahahaha”.

“Wah aku kurang tahu juga. Pokoknya aneh saja”

“Lho… siapa tahu si Sarjito memelihara tuyul. Hahahaha….”

“Ah kamu ngaco ngomongnya”.

Begitulah guncingan para tetangga. Ada yang mencibir, menghina, mencaci maki dan bahkan mengolok – olok Pak Sarjito. Maklum selama ini Pak Sarjito terkenal dengan kedengkiannya. Kesirikannya kepada para tetangga. Sering menyakiti hati tetangganya. Ucapan dan tingkah lakunya dahulu bak sembilu yang menusuk ulu hati. Sedikit kata tapi cukup menyakitkan.

“Pak Sarjito, maaf. Kebun pisang bapak memakan tanah milik saya. Maaf sekali lagi. Mohon bapak pindahkan atau geser sedikit pohon pisang bapak” ucap salah seorang warga kala itu.

“Ah banyak bacot kamu. Memangnya ini tanah punya moyang kamu? Bentak Pak Sarjito.

Mendengar bentakan seperti itu, sontak si tetangga tadi pergi menjauh tanpa berkata – kata sedikitpun. Bukan karena takut gertakan, namun malu jika meladeni pak Sarjito yang sudah cukup tua.

***

“Ibu, kenapa lagi ibu datang kemari hah?” bentak Santi – anak tertuanya.

“Maafkan aku nak, ibu terpaksa. Ibu tak sanggup lagi merawat bapakmu yang sakit – sakitan itu” ucap Sriani.

“Aaaahhh…. Itu cuma alasan ibu saja. Bilang saja ibu kemari karena ibu ingin menghindar dari tanggungjawab ibu merawat suami. Iya kan?” bentak Santi sambil membelalakkan matanya.

“Bukan nak, sungguh ibu tidak seperti itu” ucap Sriani memelas. Seolah memohon iba anaknya.

“Kedatangan ibu kemari cuma menambah beban keluargaku. Menambah porsi makan keluargaku. Menambah pengeluaranku. Mengurangi beras dan jagungku. Suamiku sendiri juga sudah jarang pemasukan sekarang. Hasil kebunnya mulai seret seseret aliran air di sawahnya. Jadi terpaksa aku harus berhemat. Berhemat segalanya. Tapi ibu malah datang menambah beban keluargaku. Aaaahhhh…. Mimpi apa aku kemarin bu !” ucap Santi sambil menekan – nekan kepalanya yang mau pecah, siap mengeluarkan isi dalam kepalanya yang sudah penuh dengan masalah.

“Tapi nak, apa kau tidak bisa memberikan tumpangan kepada ibumu ini walau hanya sejenak? Nanti kalau kakakmu sudah mapan, ibu akan pindah dari sini” ucap ibunya dalam kepasrahan.

“Baiklah bu, aku bersedia menampung ibu. Tapi….” Ucap Santi tersendat.

“Tapi apa nak?”

“Aku mau ibu jadi pembantuku dirumah ini!”

Mendadak hening, tak ada suara. Hanya desiran partikel di udara memenuhi ruang tamu berukuran 3x3 meter itu. Dengan mata berkaca – kaca seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan, Sriani diam. Diam dalam ketidakberdayaannya melawan anak kandungnya sendiri. Anak yang sudah menghisap air susunya, anak yang sudah merampas malam – malamnya untuk sekedar bangun menyusuinya, anak yang sudah memeras keringatnya selama puluhan tahun agar ia dapat makan sesuap nasi.

“Ibu mau nak” ucap Sriani diiringi derai airmata.

“Bagus…..” balas Santi dengan senyum kemenangan di bibirnya.

Malam itu di Dusun Tambaksari dimana Sarjito tinggal nampak sepi. Hanya ada suara jangkrik dan gemerisik rumpun bambu di kebun – kebun warga. Maklum di Tambaksari tidak ada aktivitas yang mencolok seperti di perkotaan. Karena penduduknya adalah para pekerja di sawah. Juragan tani atau buruh penggarap sawah.

Sehingga aktivitas mereka hanya berlangsung di saat fajar menyibak malam hingga senja beranjak ke peraduan. Selebihnya tidak. Hanya para pemuda kampung yang sengaja berkumpul di pos diujung gang. Merokok ditemani secangkir kopi dan beberapa kartu domino. Membunuh waktu sambil sambil bermain kartu dan mendendangkan lagu Iwan Fals…

Mata indah bola pingpong

Masihkah kau kosong

Bolehkah aku  membelai

Hidungmu yang aduhai

“Eh kopinya dong… “

“Sudah nagantuk ya”

“Iya nih”ucap Yudi sambil mengucek – ngucek bola matanya.

“Eh.. lihat itu siapa yang lewat” mendadak Antok berkicau memecah suasana.

“Bukannya itu si dengki Sarjito?” balas Imam.

“Kamu tidak salah. Tapi kenapa dia keluar malam – malam begini? Ini kan sudah lewat tengah malam” balas Yudi mengucek – ucek bola matanya seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat.

***

Siang itu mendadak menjadi siang yang berbeda. Karena TOA di masjid kampung berbunyi tidak seperti biasa di waktu yang tidak biasa.

Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun

Telah meninggal dunia tadi pagi bapak sarjito

Semoga amal ibadah beliau diterima olehNya

Sontak seisi kampung menjadi ramai. Ada yang mengumpat. Ada yang memaki. Ada yang tidak peduli. Bahkan ada yang mengata-ngatai dengan umpatan jorok.

“Rasakan kau Sarjito. Matilah kau dengan tanahmu. Biar kau dihimpit bumi” umpat salah seorang tetangga Sarjito yang sering disakiti hatinya.

Kabar kematian Sarjito pun akhirnya mampir juga dirumah anak tertuanya Santi. Datang begitu saja tanpa diminta. Dan sudah barang tentu akan diusir oleh Santi.

“Apa? Bapak meninggal? Sialan. Menyusahkan saja bapak ini. Sudah matipun masih saja memberi beban kepadaku. Ibu saja belum tuntas aku tanggung, datang lagi bapak. Betapa sialnya aku jadi anak kalian!” umpat Santi di depan ibunya.

“Istighfar nak, tak pantas kau ucapkan kata – kata itu” Sriani mengingatkan.

“Sudahlah bu, apa dengan istighfar akan menambah isi lumbung berasku? Menambah isi dompetku? Mustahil itu !” ucap Santi bersungut – sungut.

“Lebih baik kita segera kerumah bapakmu nak” ajak Sriani

“Baiklah, tapi ibu jalan kaki saja ya. Aku dan suamiku naik becak. Kan ibu tahu, kalau ibu naik becak akan menambah pengeluaranku” ucap Santi kepada ibunya.

“Baiklah nak” balas Sriani.

***

“Sudah dimandikan Pak”

“Belum Ustadz, masih menunggu keluarga Pak Sarjito. Sampai sekarang belum ada  yang datang”

“Baiklah kalau begitu, kita tunggu barang sejam dua jam lagi”

Di depan rumah Sarjito nampak becak berhenti. Dua orang turun dari becak itu.

“Bagaimana keadaan bapak saya Ustadz?

“Orangtua anda sudah kami mandikan. Siap untuk dimakamkan”

“Iya pak. Segera saja dimakamkan. Tapi cari yang lokasinya dipinggiran saja. Biar sewa tanahnya lebih murah” ucap Santi kepada Ustadz

“Baiklah kalau begitu. Tapi….”

“Tapi kenapa lagi pak Ustadz?”

“Alangkah baiknya kita menunggu istri almarhum. Mungkin saja beliau ingin melihat suaminya untuk yang terakhir kali”

“Aaah tinggalkan saja pak Ustadz. Ibu saya tadi berjalan dari rumah. Jadi lama sampainya” ucap Santi.

Mendadak istri Sarjito muncul di pintu pagar.

“Nah itu ibu Sriani, segera kita makamkan pak Sarjito sekarang” ucap Ustadz dengan wajah sumringah.

***

“Aku bingung dengan selamatan bapak” Santi menggumam kepada suaminya.

“Kenapa bingung?”

“Kan mas tahu sendiri biaya kebutuhan pokok makin mahal. Sedangkan selamatan bapak tak cukup sekali dua kali. Minimal hingga seribu hari setelah kematiannya”.

“Ah itu bisa kita akali”

“Caranya?”

“Kita bikin selamatan dengan 1 tumpeng saja. Biar dibagi beramai – ramai. Beres kan?”

“Cerdas kamu mas” balas Santi diiringi senyum sinisnya.

Sementara itu dibalik tirai kelambu, Sriani hanya bisa diam mendengar percakapan anak dan menantunya itu sambil menahan air matanya agar tidak jatuh meleleh lebih banyak lagi.

Benar saja, selamatan itu berjalan lancar. Walau tak kurang dari 15 warga yang datang. Namun cukup untuk mengantarkan do’a bagi arwah Sarjito agar tenang di alamnya.

“Keterlaluan mereka. Sudah matipun masih saja ngirit”

“Ah sudahlah… itu hak mereka”.

“Tapi ini kan 1000 harinya. Selamatan terakhir pula. Masak hidangannya Cuma nasi putih dan lalapan plus gorengan tahu tempe?”

“Kita syukuri saja. Jangan mengumpat pemberian orang. Dosa”

***

Sudah hampir enam bulan sejak tinggalnya Sriani dirumah anak dan menantunya, kondisi kesehatannya tak kunjung membaik. Ditambah lagi kesedihannya ditinggal suaminya yang telah pergi mendahuluinya. Anak yang drawatnya dari kecil dan diharapkannya sebagai sandarann hidup di masa tuanya sangat tidak bisa diharapkan lagi.

“Ini obatnya bu, aku tadi mampir ke pasar membeli obat untukmu”

“Ke pasar?”

“Iya, kenapa? Ke apotek?”

“Bukannya obat itu harus kamu tebus sesuai resep dokter?”

“Aaaahhh mahal itu. Dimana – mana obat sama saja bu. Untuk menyembuhkan penyakit. Jadi aku cari yang lebih murah. Ya di pasar. Bukan di apotek” ucap Santi sambil berlalu ke dapur untuk memasak.

Tak banyak bicara, Sriani masuk ke kamarnya. Merebahkan diri. Menatap langit – langit kamarnya. Meratapi nasibnya. Menyesali hidupnya.

“Tuhan… apakah ini azab buatku?” gumam Sriani sendiri dalam sepi.

Begitulah, hari – hari Sriani terlewati dengan penyesalan. Kesedihan. Dan tentunya cacian dari anak dan menantunya yang menyuruhnya untuk berhemat dalam segala hal. Termasuk makan. Sehari 2x. tidak lebih. Kondisi itu tentu saja makin memperparah penyakit Sriani.

“Santi…. Saaaannn” teriak suami Santi pagi itu.

“Apa mas?

“Mana sarapan untukku?”

“Di meja mas, sudah disiapkan ibu kan?”

“Meja? Meja restoran maksudmu hah?”

Tak betah mendengar teriakan suaminya, Santi bergegas menuju meja makan.

“Oooohhh tuhan. Kemana Ibu. Sudah siang begini sarapan belum juga siap” gerutu Santi.

Tok… tok… tok…

“Ibu? Apa kau didalam?” teriak Santi dari luar kamar ibunya. Lama amat, lebih baik aku buka saja pintu ini” gumam Santi.

“Ibuuuuu…. Banguuuuuunnnn. Sudah jam berapa ini hah? Teriak Santi sambil mengguncang – guncang tubuh Sriani yang diam, kaku dan dingin.

“Maaaaaaassssss….. ibu meninggal !” teriak Santi dari dalam kamar.

Mendengar teriakan istrinya, suami Santipun segera menuju kamar itu.

“Ada apa San?” tanya suami Santi.

“Ibu sudah meninggal mas” jawab Santi datar.

“Lalu….?”

“Lalu apa mas? Ya kita terpaksa mengeluarkan uang lagi dong?” gerutu Santi.

“Tenang San, kita adakan selamatan seperti selamatan bapakmu kemarin”

[caption caption="gagak hitam http://somelucky.blogspot.co.id/2014/09/gagak-burung-pembawa-pesan-kematian.html"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun