“Kasihan”
“Terus, bagaimana nasib rumah yang besar itu sekarang? Siapa yang merawatnya? Apakah Pak Sarjito sanggup membersihkannya sendirian?”
“Itulah, aku juga merasa risih jika lewat depan rumahnya. Kemarin saja waktu habis belanja dari pasar, aku mencium bau aneh”.
“Bau kemenyan maksudmu? Hahahaha”.
“Wah aku kurang tahu juga. Pokoknya aneh saja”
“Lho… siapa tahu si Sarjito memelihara tuyul. Hahahaha….”
“Ah kamu ngaco ngomongnya”.
Begitulah guncingan para tetangga. Ada yang mencibir, menghina, mencaci maki dan bahkan mengolok – olok Pak Sarjito. Maklum selama ini Pak Sarjito terkenal dengan kedengkiannya. Kesirikannya kepada para tetangga. Sering menyakiti hati tetangganya. Ucapan dan tingkah lakunya dahulu bak sembilu yang menusuk ulu hati. Sedikit kata tapi cukup menyakitkan.
“Pak Sarjito, maaf. Kebun pisang bapak memakan tanah milik saya. Maaf sekali lagi. Mohon bapak pindahkan atau geser sedikit pohon pisang bapak” ucap salah seorang warga kala itu.
“Ah banyak bacot kamu. Memangnya ini tanah punya moyang kamu? Bentak Pak Sarjito.
Mendengar bentakan seperti itu, sontak si tetangga tadi pergi menjauh tanpa berkata – kata sedikitpun. Bukan karena takut gertakan, namun malu jika meladeni pak Sarjito yang sudah cukup tua.