"Bahkan kamu sendiri, seorang Radit yang genius, punya pemikiran yang seperti itu? Mereka cuma berlindung di bawah ketiak kekuasaan bapaknya. Bukan dia yang punya kuasa di sini. Selama aku, kamu dan mereka memakai seragam yang sama, itu artinya hak kita sama. Masalah dia anak kepsek itu ga' ngaruh. Lagi pula aku yakin kalau kepsek tahu, pasti mereka dapat balasan yang setimpal."
"Udah Prin! Kamu kenapa sih? Anggap saja kamu tidak lihat. Jangan cari mati." Rinta turut bersatu faham dengan Radit.
"Kalian semua sama aja. Coba kalian yang berada di posisi anak-anak yang selama ini jadi bulan-bulanan mereka, gimana rasanya di-bully. Pasti kalian ingin ada orang yang nolong. Tapi di saat yang bersamaan tidak satu orangpun yang perduli. Itu sama saja dihakimi dengan kejam tanpa hakim." Aku pergi meninggalkan Radit dan Rinta. Aku sebel, kenapa sih mereka?
Aku terus saja berjalan dengan tangan yang kukepal-kepalkan, mulutku terus komat-komit menandakan kekesalan yang terus memuncak. Tapi amarahku harus aku tahan dulu ketika aku berjalan melewati mading sekolah. Banyak anak-anak yang bergerumul di depan papan mading, membuatku penasaran aja. So, aku liat aja. Tapi sayang karena postur tubuhku yang tidak menguntungkan. Aku akui tubuhku pendek tak lebih dari 145 cm. Tak bisa melihat, cuma berjinjit-jinjit tanpa beroleh hasil.
"Lihat apa sih?" Tiba-tiba ada sepotong suara yang berbicara dekat telingaku.
Saat aku menoleh ternyata itu Rades. Entah kenapa tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Inikah perasaan yang dialami semua para korban geng TM ketika berhadapan dengan Rades?
"Ga' tau, tidak kelihatan." Jawabku singkat kemudian hendak melangkah pergi.
"Mau lihat ga'?"
"Nanti aja. Masih ramai." Aku berusaha menyingkir beberapa langkah.
"Kalau bisa sekarang, kanapa harus ditunda?"Â
Tak tanggung-tanggung sejuta keterjutan menghujaniku, Rades tiba-tiba menggendongku. "Minggir, tuan putri mau lihat pengumuman nih!" Teriakan Rades menyeruak agar anak-anak menyingkir.