"Heh!" Rades memegang daguku, medongahkan wajahku "Kamu di sini itu bukan siapa-siapa, oke? So, ga' usah sok punya solidaritas buat ngebela temen-temen kamu. Ngebela diri sendiri aja belum becus." Ia lempar keras-keras mukaku.
      Aku sudah tidak tahan, ini benar-benar sudah keterlaluan. Rasanya ingin aku pukul dia sampai mati, terus bangkainya aku buang ke hutan biar dimakan singa.
"Heh, kamu punya mulut kan? Ngomong dong!"
"Kamu tidak punya hati yah? Kamu tidak pernah mikir gimana perasaan orang-orang yang kamu kerjain?" Kata-kata itu hanya tercekat di tenggorokan, tak bisa ku lontarkan. Tak ada suara yang keluar, hanya sesenggukan yang semakin menjadi, semua terasa seperti neraka dan dia adalah iblisnya. Kenapa tidak ada yang mau bantuin aku? Semuanya cuma ngeliat, tidak berbuat apa-apa.
Ku lihat ke arah Rinta, mungkin ia mengerti apa yang aku maksud, "Aku panggil Radit dulu." tukasnya tanpa suara, tapi aku mengerti dari gerak bibirnya, tapi naasnya di sana sudah ada Herman dan yang lainnya yang menjaga pintu.
"Mau kemana kamu?" Bentak Herman.
"Mau... mau ke Toilet, udah kebelet ni, please ijinin aku keluar."
"Udah! Biarin aja dia keluar. Kamu mau ngepelin kalau dia buang air di sini? Mungkin juga dia mau manggil si Pangeran kodok ke sini." Ucap Rades tak berperasaan.
Dasar bener-bener manusia tak berperasaan. Apa mungkin waktu Tuhan ngebagi-bagiin perasaan dia tidak hadir yah?
"Lepasin Prinsa." Suara itu berasal dari arah pintu. Itu adalah Radit. Please, Dit tolongin aku.
      "Princess! Pangeran kodok kamu udah datang tu. Haha."