Alur birokrasi rumit yang sempat kupikirkan tadi tak henti-henti berputar-putar di kepalaku. Selama perjalanan, aku hanya merapal mantra semoga motorku tidak dicuri.
***
“Mau minta tanda tangan, Mbak?”
Suara berat dari seorang bapak-bapak berumur lima puluhan mengagetkan lamunanku.
Aku yang sedari tadi lesu karena penat berjalan kaki, dan hanya menemukan kantor melompong tanpa aktivitas pun terhenyak.
Jangan tanya bagaimana rupa wajahku. Kusut sudah.
“Eh, iya, Pak. Betul. Saya mau minta tanda tangan Bapak Kepala Desa”, jawabku.
“Maaf, ya Mbak. Anak-anak belum datang. Padahal sudah jam segini”, lanjutnya sambil tersenyum.
Bapak itu berseragam coklat khas pegawai. Berkendara ke sini memakai sepeda. Sepeda tua berwarna perak. Dengan jaket hitam dan kopiah. Mungkin pegawai kantor ini, pikirku.
Ia lalu mengeluarkan bolpoin di saku kiri seragamnya, lalu mencari-cari sesuatu. Tapi aku tidak peduli. Aku sudah terlampau lelah bahkan di hari yang masih pagi ini. Aku hanya butuh kepala desa. Tolong sodorkan dia padaku sekarang!
Belum sempat aku bicara, ia bertanya,