“Mana, Mbak yang mau ditandatangani?”, tanyanya santai. Masih dengan senyum-senyum.
Hah?
Aku terpaku sejenak. Tidak mengerti. Berusaha mencerna kata-katanya.
Tentu saja aku masih menyimpan dokumenku di ransel. Aku berniat mengeluakannya nanti di depan ruang kepala desa. Tapi mengapa orang ini berani memintanya sekarang? Siapa dia?
***
Dengan tergesa-gesa, aku mengambil sebuah map coklat berisi selembar surat pernyataan. Aku menyodorkan kertas itu ke si bapak.
“Ini, Pak”
Tanpa basa basi, ia membubuhkan coretan indah itu di atas tulisan Kepala Desa.
***
“Mbak. Maaf, nih. Stempel saya ketinggalan di rumah. Begini saja. Mbak tunggu di sini. Saya bawa dulu kertas ini ke rumah, saya stempel. Nanti saya balik ke sini lagi”.
Aku hanya mengingat nanti saya balik ke sini lagi lalu segera mengucapkan “Baik, Pak.”