“Tapi bagi ku. Adanya kesadaran akan kepentingan nasional yang jauh lebih besar lah, yang pada akhirnya menjadikan persatuan di antara kita terjalin dengan baik. Sesuatu yang sukar ku lihat pada kondisi bangsa sekarang ini..” tukas Hatta.
“Meski secara ideologi, aku bertentangan dengan bung Iwa, Engku Tan, dan kawan-kawan lain. Namun atas nama kepentingan bangsa, kita rela menanggalkan jubah ideologi tersebut.”
**
Pertentangan ideologi di era itu memang berlangsung sengit. Hal ini tak lepas dari pengaruh dua negara adidaya, Amerika, yang mengusung paham liberalisme. Serta Rusia, sebagai negara pensuplai ideologi komunisme.
“Aku dan kau, jelas berbeda.” pungkas Iwa kepada Hatta.
“Aku jelas percaya pada nafas komunisme yang selaras dengan Islam. Sedangkan kau, menganut ideologi sosialisme-demokrasi. Pertarungannya jelas. Ideologi. Coba kau lihat kondisi sekarang ini, bung?”
“Aktor-aktor politik yang ada, berjuang tanpa kredo ideologi yang jelas. Mereka hanya menuruti kepentingan pragmatisme politik..” Iwa melanjutkan penjabarannya pada Hatta.
“Ah.. sudahlah, bung Iwa.” sahut Hatta.
“Terkadang aku sedih melihat kondisi tanah air kita sekarang. Defisit ketokohan dalam hal berpolitik, membuat kondisi semacam ini menjadi niscaya..”
“Tidak dapatkah mereka mengambil semua hikmah dari apa yang selama ini kita alami?” ucap Hatta lirih.
**