Bahkan dalam beberapa kesempatan, Hatta juga ingat bagaimana Sjahrir melakoni perannya sebagai seorang sutradara dalam sebuah pertunjukan drama.
**
“Bagaimana dengan kegiatan mu di sini, bung? Cukup menyenangkan, kah?” Hatta bertanya pada Iwa.
“Di sini aku menemukan kenyamanan, bung. Jauh dari hiruk-pikuk kota, dan situasi politik, membuat jiwa dan batin ku terasa tenang.”
Banda Neira memang berkesan di hati Iwa. Di sinilah dirinya menemukan kesempurnaan ajaran agama seutuhnya. Lewat ceramah rutin pemuka agama setempat, Syekh Abdullah bin Abdurakhman, sisi spiritualnya terasah dengan baik. Salat lima waktu, dan mengkaji kitab suci menjadi kegiatan rutinya menjalani masa pengasingan.
“Indahnya Neira ini pula yang menginspirasiku untuk menyelesaikan penulisan buku ini..” Iwa menunjukkan kepada Hatta, karya terbarunya. Sebuah buku berjudul Nabi Muhammad dan Empat Khalifah.
“Bagaimana dengan kau, bung?” Iwa bertanya balik pada Hatta.
“Hemm.. hampir tak jauh beda dengan kau, bung. Banda Neira ini memang melenakan. Menyejukkan pikiran dari gersangnya konstelasi perpolitikan kita sekarang ini.”
**
Waktu berjalan cepat. Diskusi berlangsung hangat.
“Kondisi gersang seperti apa yang kau maksud, bung?”