Mohon tunggu...
Linggar Kharisma
Linggar Kharisma Mohon Tunggu... Politisi - Political Scientist In Digital Creative Industry

Political Scientist

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja di Banda Neira: Dialog Imajiner Hatta & Iwa

18 November 2016   16:22 Diperbarui: 18 November 2016   17:14 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Banda Neira (foto: www.thehasfa.com)

“Ah.. aku jadi tak enak. Merepotkan saja.”

“Tak usah sungkan. Anggap saja rumah sendiri.” ucap Iwa kepada Hatta.

Iwa memang senior Hatta. Baik di kampusnya, Leiden. Ataupun saat keduanya duduk pada organisasi yang sama, Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri kincir angin. Jalan ideologislah, yang kemudian membelah pemikiran keduanya. Iwa masyuk dengan paham komunisme, sedang Hatta memilih untuk bergelut pada konsep sosialisme-demokrasi.

“Senja yang syahdu ini, sayang untuk dilewatkan tanpa obrolan-obrolan ringan nampaknya..” tutur Iwa membuka perbincangan.

“Hahaha.. bung Iwa memang pandai beretorika. Topik apa yang sekiranya dapat kita bicarakan, bung?”

“Oiya, aku hampir lupa. Bung Sjahrir tak ikut dengan kau rupanya?” tanya Iwa kepada Hatta.

Sjahrir dan Hatta memang sempat tinggal pada rumah yang sama di Banda Neira ini. Namun karena karakter keduanya yang cukup berbeda, Sjahrir yang necis dengan selera seni tinggi, berkebalikan dengan sikap Hatta yang lebih menyukai ketenangan suasana, membuat keduanya sepakat untuk pisah rumah.

Anak-anak angkat Sjahrir, yang ia adopsi di Neira (Does, Des, Lili, dan Mimi) sempat membuat buku milik Hatta rusak. Akibat tertumpah segelas air. Sjahrir tahu betul, buku adalah barang berharga yang Hatta jaga dengan baik. Adapun kejadian itu membuat Sjahrir merasa tak enak hati. Untuk itulah keputusannya bulat untuk berpisah tempat tinggal dengan Hatta.

“Tidak, bung. Belakangan ini Sjahrir sibuk mengajari anak-anak angkatnya untuk membaca, menulis, dan berhitung. Kalau sore begini, biasanya mereka berenang bersama di pinggiran pantai.” seru Hatta menjawab pertanyaan Iwa.

Sejujurnya Hatta amat mengerti jiwa Sjahrir yang sejatinya tak suka dengan dunia politik. Dunia yang kemudian memaksanya untuk bergelut aktif. Mengajar anak-anak membaca, menulis, berhitung, kemudian berenang ke tepi pantai, hingga kegiatan naik bukit, merupakan rutinitas yang tak pernah luput dari kepribadian Sjahrir kala di Neira bersama anak-anak angkatnya.

Kenangan Hatta lainnya mengenai karakter adik ideologisnya, Sjahrir, yang tak suka politik juga terekam jelas saat menjalani keseharian sebagai mahasiswa di Leiden. Sjahrir yang gemar dengan pertunjukan parodi, lebih menghabiskan waktu kuliahnya di ruang-ruang teater, untuk sekadar berlatih drama, ataupun menonton opera sabun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun