**
Tak lama berselang, sampailah keduanya di rumah Iwa. Terasnya cukup besar. Empat kursi kayu yang tersedia di depan, diperuntukkan khusus menyambut tamu yang hendak bertandang. Meja bulat berukuran sedang, menjadi pelengkap di antara tumbuhnya beberapa tanaman hias dalam vas.
Dua jendela kayu berukuran besar, menjadi pintu bagi masuknya hembusan udara khas pantai. Desain lampu bergaya Belanda, menempel erat di atas langit-langit teras.
“Duduk dan tunggu sebentar di sini, bung. Aku buatkan kopi sebentar..”
“Emmm… baiklah.” tukas Hatta.
Selagi menunggu kopi hitamnya jadi, pikiran liar Hatta mengawang jauh. Membayangkan bahwa sosok Iwa yang dahulu ia kenal, berbeda jauh dengan pribadi yang hari ini menyapanya.
Iwa yang dahulu Hatta kenal, adalah seorang mahasiswa yang tergila-gila dengan pemikiran kiri. Bersama Semaun, tokoh PKI, Iwa memang sempat menjalani hidup di Rusia. Bergaul dan bergumul dengan kelompok-kelompok dan pemikiran komunis, merupakan cerminan masa lalu seorang Iwa.
Sebagai pengusung sosio-demokrasi, Hatta memang tak setuju dengan ideologi komunis. Pernah suatu ketika, saat sedang berada di Jerman untuk vakansi, Hatta bertemu dengan Tan Malaka. Kesempatan untuk bertukar pikiran tak disia-siakannya.
Hatta berdebat sengit dengan Engku (sebutan di tanah Minang, bagi orang yang lebih tua) Tan Malaka, mengenai kemuskilan penerapan ide komunis. Bagi Hatta, komunis adalah cita-cita utopis. Sebuah prinsip yang tentu berlainan arah dengan keyakinan Tan, bahwa nilai-nilai komunis sama sekali tak berlawanan dengan pedoman Islam, sebagai sebuah ajaran teologi. Sehingga amat sangat mungkin untuk dianut, dan diterapkan.
**
“Silakan diminum kopinya, bung.”