Mohon tunggu...
Linggar Kharisma
Linggar Kharisma Mohon Tunggu... Politisi - Political Scientist In Digital Creative Industry

Political Scientist

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja di Banda Neira: Dialog Imajiner Hatta & Iwa

18 November 2016   16:22 Diperbarui: 18 November 2016   17:14 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Banda Neira (foto: www.thehasfa.com)

**

Tak lama berselang, sampailah keduanya di rumah Iwa. Terasnya cukup besar. Empat kursi kayu yang tersedia di depan, diperuntukkan khusus menyambut tamu yang hendak bertandang. Meja bulat berukuran sedang, menjadi pelengkap di antara tumbuhnya beberapa tanaman hias dalam vas.

Dua jendela kayu berukuran besar, menjadi pintu bagi masuknya hembusan udara khas pantai. Desain lampu bergaya Belanda, menempel erat di atas langit-langit teras.

“Duduk dan tunggu sebentar di sini, bung. Aku buatkan kopi sebentar..”

“Emmm… baiklah.” tukas Hatta.

Selagi menunggu kopi hitamnya jadi, pikiran liar Hatta mengawang jauh. Membayangkan bahwa sosok Iwa yang dahulu ia kenal, berbeda jauh dengan pribadi yang hari ini menyapanya.

Iwa yang dahulu Hatta kenal, adalah seorang mahasiswa yang tergila-gila dengan pemikiran kiri. Bersama Semaun, tokoh PKI, Iwa memang sempat menjalani hidup di Rusia. Bergaul dan bergumul dengan kelompok-kelompok dan pemikiran komunis, merupakan cerminan masa lalu seorang Iwa.

Sebagai pengusung sosio-demokrasi, Hatta memang tak setuju dengan ideologi komunis. Pernah suatu ketika, saat sedang berada di Jerman untuk vakansi, Hatta bertemu dengan Tan Malaka. Kesempatan untuk bertukar pikiran tak disia-siakannya.

Hatta berdebat sengit dengan Engku (sebutan di tanah Minang, bagi orang yang lebih tua) Tan Malaka, mengenai kemuskilan penerapan ide komunis. Bagi Hatta, komunis adalah cita-cita utopis. Sebuah prinsip yang tentu berlainan arah dengan keyakinan Tan, bahwa nilai-nilai komunis sama sekali tak berlawanan dengan pedoman Islam, sebagai sebuah ajaran teologi. Sehingga amat sangat mungkin untuk dianut, dan diterapkan.

**     

“Silakan diminum kopinya, bung.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun