“Hahahahaha..” ucapan Hatta disambut gelak tawa keduanya.
**
Kopi hitam yang kini tinggal setengah gelas itu, masih terasa panas. Terbawa hawa panasnya suasana obrolan dua tokoh bangsa yang saling bercengkrama.
“Apa yang aku lakukan dulu bersama Tan Malaka, di Persatuan Perjuangan, sejatinya hendak memperjuangkan penghapusan sekat persepsi yang hadir di antara rakyat.”
“Aku mafhum. Kau hendak mengambil jalan diplomasi, sebagai cara terbaik untuk berunding dengan Belanda. Tapi bagi ku, dan kawan-kawan lain di Persatuan Perjuangan, pilihan itu bukanlah cara terbaik. Kita kan sudah merdeka, dan tak ada lagi tawar menawar akan hal itu..”
Iwa terlihat antusias menyampaikan pandangannnya.
Hatta tersenyum kecil melihat Iwa yang begitu semangat menyampaikan gagasan.
“Tapi bukankah polarisasi ideologi di zaman itu, membuat distingsi sosial di kalangan rakyat, bung?” tanya Hatta pada Iwa.
“Ya kurang lebih begitu..” jawab Iwa singkat menanggapi pertanyaan Hatta.
Pasca proklamasi dan agresi susulan militer Belanda ke Indonesia, memang, terdapat dua faksi di antara tokoh-tokoh bangsa. Hatta, Sjahrir, dan Soekarno, lebih memilih jalur diplomasi sebagai cara terbaik menuntaskan konflik antara dua negara.
Namun cara itu ditolak secara tegas oleh Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri, Amir Syarifuddin, hingga Jendral Soedirman. Bagi faksi ini, Indonesia yang telah merdeka secara sah, tak perlu lagi melakukan negosiasi dengan pihak Belanda. Tak ada kata kompromi, bagi Belanda yang telah menggugat kedaulatan sebuah bangsa merdeka.