Mohon tunggu...
Spenser Lemaich MA
Spenser Lemaich MA Mohon Tunggu... Guru - membuat profil sebagai tugas kuliah

Guru bahasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Analisis Unsur-unsur Linguistik Puisi Narasi dari "Inspirasi Tanpa Api" sebagai Sumber Bahan Ajar BIPA

21 Juli 2022   15:06 Diperbarui: 21 Juli 2022   15:23 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Spenser Edward Lemaich

Magister Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP

Universitas Dr. Soetomo Surabaya

Email: selemaich@gmail.com

ABSTRACT

 

This study examines three narrative poems from the collection of poems Inspirasi Tanpa Api: Esai dalam Puisi by Tri Budhi Sastrio as examples of authentic texts to be used as the basis for the development of BIPA language learning materials. 

This is a descriptive qualitative study of the practicality of authentic texts as source documents for teaching linguistic elements of standard Indonesian as well as for teaching aspects of an Indonesian cultural perspective. 

The study examined these texts for examples of Indonesian phonetics and phonology, morphology, semantics, syntax, pragmatics, and language contact that could be made use of for BIPA classroom instructional purposes.  Relevant linguistic examples which were found included: 

phonotactic constraints, use of idioms, synonyms, polysemy, and use of vocabulary across languages, as well as etymological and cultural references. Practicing BIPA instructors can make use of these linguistic elements in authentic texts for the development of language practice and supplementary materials.

Keywords: BIPA, Indonesian language linguistics, authentic texts, culture education in foreign language teaching

ABSTRAK

 

Penelitian ini menganalisis tiga puisi narasi dari buku kumpulan puisi Inspirasi Tanpa Api: Esai dalam Puisi karya Tri Budhi Sastrio sebagai contoh teks otentik yang dapat digunakan bagi pengembangan bahan ajar BIPA.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif mengenai kepraktisan penggunaan teks otentik sebagai sumber bagi pengajaran unsur-unsur linguistik bahasa Indonesia baku dan unsur-unsur wawasan budaya Indonesia.

 Teks-teks tersebut dianalisis untuk contoh fonetik, fonologi, morfologi, semantik, sintaksis, pragmatik dan kontak bahasa yang dapat dimanfaatkan bagi tujuan instruksional dalam kelas bahasa asing. 

Hasil penelitian ini menemukan contoh linguistik terkait dengan khaidah fonotaktik, idiom, sinonim, polisemi dan penggunaan kosakata antar-bahasa, serta referensi etimologis dan referensi terkait budaya. 

Pengajar BIPA dapat menggunakan teks otentik yang mengandung unsur-unsur linguistik bagi pengembangan bahan ajar pengayaan dan latihan soal tata bahasa.

Kata Kunci: BIPA, linguistik bahasa Indonesia, teks otentik, pendidikan budaya dalam kelas bahasa asing

I. PENDAHULUAN

 

1.1 Latar belakang

Bahasa Indonesia telah dinyatakan sebagai bahasa internasional (Sastrio, 2017), dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDK), terus berupaya untuk melaksanakan "penginternasionalan bahasa Indonesia" (Amanat, 2019: 41). 

Sekarang, bahasa Indonesia sedang dipelajari di 20 negara, dari 23 negara sasaran yang dituju oleh PPSDK, antara lainnya: Thailand, Timor Leste, Australia, Papua Nugini dan Filipina (Handoko dkk. 2019: 24). 

Bahasa Indonesia dipelajari dalam mata kuliah bahasa asing pilihan bukan hanya oleh warga negara ASEAN saja, seperti di Ho Chi Minh City (Wurianto, 2022) dan Manila (Quinones & Mayrena, 2020: 11), tetapi di Poznan, Torun, Krakow dan Warsaw di Polandia juga (Hertiki, 2017).

Perkembangan bahan ajar BIPA terus berjalan sampai saat ini, mulai dari upaya PPSDK, yang menerbitkan seri bahan Bahasa Indonesia Bahasa Sahabatku, tahun 2014, dan Sahabatku Indonesia: Untuk Anak Sekolah tahun 2015, 

dalam enam jenjang A1, A2, B1, B2, C1 dan C2 berdasarkan sistem Kerangka Kerja Eropa untuk Jenjang Kompetensi Bahasa (Common European Framework of Reference for Languages atau CEFR) (Mahayana, 2018: iii). 

Isi seri bahan terbitan 2016 "dikembangkan dengan berbasis teks agar pemelajar secara terintegrasi dapat mengembangkan kompetensi berbahasanya dalam keempat keterampilan: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis" dengan tujuan tambahan, yaitu pengembangan "wawasan keindonesiaan" (Meilinawati, 2016: iii). 

Namun, selain bahan ajar untuk mengembangkan keempat keterampilan tersebut, pelajar BIPA membutuhkan bahan ajar tambahan yang dapat membantu mereka menguasai sistem aturan atau tata bahasa baku bahasa Indonesia, terkait topik-topik seperti penggunaan imbuhan dan duplikasi, antara lain.

Kurniasih dan Isnaniah (2019) menjelaskan keadaan perkembangan bahan ajar BIPA di salah satu perguruan tinggi di Indonesia:

Ketersediaan bahan ajar BIPA [...] masih sangat terbatas pada buku teks yang dikeluarkan oleh [PPSDK]. Penggunaan bahan ajar yang minim dapat berpengaruh pada proses pembelajaran bahasa. Semakin banyak modul yang digunakan, maka semakin baik pula proses penerimaan bahasa kedua bagi penutur asing. 

Sebaliknya, apabila sumber belajar terbatas, maka kebutuhan bahasa bagi penutur asing masih belum tercukupi dengan baik. [...] Pembelajar BIPA mengalami kesulitan dalam memilih materi yang tepat untuk membantu penutur asing dalam mencapai kompetensi. (2019: 63)

Oleh karena kekurangan tersebut yang masih ada sampai sekarang dalam ketersediaan bahan ajar BIPA, maka tenaga pengajar BIPA terus disarankan untuk mengembangkan bahan ajar pengayaan dan tambahan, baik untuk tujuan tertentu, maupun untuk pemelajar umum. 

Susani (2022) menyebut profesi pramuwisata di Vietnam sebagai contoh kelompok pemelajar yang dapat dibantu oleh perkembangan bahan ajar khusus, dan Roesdiono (2012, Agustus 30), menjelaskan bahwa wisatawan asing telah diajarkan bahasa Indonesia untuk tujuan profesional tertentu.

Salah satu contoh bahan pendukung pembelajaran BIPA yang telah diterbit oleh PPSDK sebagai bahan pengayaan keterampilan membaca adalah seri bahan Sahabatku Indonesia: Memahami Indonesia Melalui Sastra (2018), yang menggunakan berbagai teks otentik sebagai bahan dasar. 

Sesuai dengan hasil penelitian Susani (2020), ada beberapa manfaat dari "penerapan pendekatan berbasis teks," yaitu bahwa metode tersebut "dapat memberikan kesempatan kepada pengajar untuk mengajarkan [bukan hanya] keterampilan berbahasa [dan] tata bahasa" tetapi juga mampu meningkatkan pemahaman pemelajar "tentang latar belakang sosial dan budaya dari pemakai bahasa" (2020: 66). 

Oleh karena kelebihan pendekatan berbasis teks bagi pemahaman "struktur dan ciri kebahasaan" (Susani, 2020: 67) bahasa Indonesia, maka pengajar BIPA dianjurkan untuk mengembangkan bahan ajar tambahan berdasarkan teks, dan lebih spesifik lagi, teks otentik, apabila kemahiran pemelajar memungkinkan.

1.2 Rumusan masalah & manfaat penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah: apa unsur-unsur linguistik bahasa Indonesia yang dapat ditemukan dan dimanfaatkan dalam teks puisi narasai sebagai sumber bahan ajar BIPA?

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan dan tujuan yang terkandung dalam rumusan tersebut, penelitian ini diharapkan dapat membantu tenaga pengajar BIPA untuk mengembangkan dan memperluas pengetahuan mengenai unsur-unsur linguistik bahasa Indonesia, baik bagi pengajar sendiri, maupun bagi peningkatan pemahaman pemelajar. 

Sebagai manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu tenaga pengajar BIPA untuk menyiapkan bahan ajar BIPA berbasis teks otentik karena telah dapat menentukan unsur-unsur linguistik dan wawasan budaya Indonesia dalam teks tersebut. 

Apabila ilmu yang dikemukakan melalui penelitian ini dipraktikkan oleh tenaga pengajar, maka para pemelajar BIPA diharapkan dapat memahami tata bahasa baku bahasa Indonesia serta wawasan budaya Indonesia dengan lebih mudah.  

1.3 Landasan Teori 

Penelitian ini berdasarkan beberapa teori dan istilah yang terkait cabang-cabang linguistik berikut: (1) fonetik & fonologi, (2) morfologi, (3) semantik, (4) sintaksis, (5) pragmatik, dan (6) kontak bahasa. Berikut definisi istilah-istilah yang akan dipakai untuk menganalisis tiga puisi dari Inspirasi Tanpa Api.

                        1.3.1 Fonetik & fonologi

Istilah fonetik diartikan sebagai "ilmu yang menyelidiki penghasilan, penyampaian dan penerimaan bunyi bahasa" (Kridalaksana, 1982: 44), sedangkan fonologi adalah "bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungisnya" (1982: 45). 

Richards dan Schmidt (2005: 434) menyebut tiga cabang fonetik, yaitu artikulatoris, akustik dan auditoris. Sebagian ahli linguistik menggangap bahwa istilah fonologi menandakan semua ilmu terkait fonetik dan fonemik (2005: 435). 

Menurut Mihalicek dan Wilson (2011: 36), semua macam bunyi kecil yang bisa dihasilkan oleh tubuh manusia termasuk dalam ilmu fonetik, seperti konsonan, vokal, nada dan ritme. 

Salah satu tujuan dari ilmu fonetik adalah menentukan bunyi mana yang dimungkinkan oleh sebuah bahasa, sedangkan ilmu fonologi membahas sistem bunyi dalam sebuah bahasa dan hubungan antara beberapa bunyi, sesuai dengan aturan bahasa terkait (2011: 102). 

Dalam penelitian ini, istilah fonetik dan fonologi dipakai untuk membahas segala ilmu yang berguna bagi pemelajar BIPA tentang pengucapan bahasa Indonesia, baik bunyi tertentu dan hubungan antara huruf dan bunyi, maupun penekanan kata dan intonasi.

                        1.3.2 Morfologi

Morfologi didefinisikan oleh Kridalaksana sebagai "bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya" atau "bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata, yakni morfem" (1982: 111). 

Richards dan Schmidt menabah definisi morfologi sebagai sebuah sistem dalam setiap bahasa, yang bisa dibandingkan (2005: 376). Secara praktis, ilmu morfologi terkait dengan penyusunan kosakata setiap bahasa, seringkali dengan penambahan imbuhan.

Menurut Mihalicek dan Wilson (2011: 48), morfologi adalah semacam tata bahasa mental yang memperbolehkan penambahan imbuhan tertentu, dan melarang penambahan imbuhan lain. Morfologi adalah salah satu cabang linguistik yang terkait dengan pemahaman bahasa pada tingkat kata, namun lebih fokus kepada struktur. 

Dalam penelitian ini, istilah morfologi dipakai untuk membahas semua topik yang berhubungan dengan sistem imbuhan dalam bahasa Indonesia, baik prefiks dan sufiks, maupun infiks dan sirkumfiks.

                        1.3.3 Semantik

Walaupun definisi semantik mencakup sejumlah arti dan bagian, seperti "struktur bahasa yang berhubungan dengan makna dari ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara" (Kridalaksana, 1982: 149), yang dimaksudkan dengan istilah semantik dalam penelitian ini adalah makna kata, atau ilmu terkait dengan makna kata (lihat Richards dan Schmidt 2005: 520). 

Makna kata menjadi sangat penting bagi pemelajar bahasa asing, terutama dengan isu-isu terkait pemilihan kosakata dan polisemi, antara lain.

Contoh polisemi bisa dilihat dalam kata malas yang memiliki dua arti: (1) tidak mau bekerja atau (2) tidak bernafsu. 

Kadang kala pemelajar BIPA mengalami kesulitan dalam pemilihan kosakata ketika ada interferensi dari bahasa asli. Contoh interferensi terkait makna kata adalah kesulitan yang dialami oleh penutur asli bahasa Inggris untuk membedakan antara kita dan kami karena dua-duanya bisa diartikan dalam bahasa Inggris dengan kata we.

                        1.3.4 Sintaksis

Sintaksis adalah "pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata, atau dengan satuan-satuan yang lebih besar itu dalam bahasa" (Kridalaksana, 1982: 154), dan istilah tersebut dipakai dalam penelitian ini untuk menandakan dan membukakan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pemelajar BIPA yang berhubungan dengan frasa dan kalimat. 

Menurut Richards dan Schmidt (2005: 579), ilmu sintaksis terkait penentuan kalimat mana yang bisa diterima dalam sebuah bahasa dan mana yang tidak bisa diterima. 

Salah satu tujuan terbesar dari ilmu linguistik adalah penjelasan sistem penyusunan kalimat dalam sebuah bahasa, untuk memahami bagaimana mengelompokkan dan menghubungkan kata-kata dalam bahasa tersebut.

Mihalicek dan Wilson menjelaskan bahwa keberterimaan sebuah frasa dalam sebuah bahasa tergantung kepada konsep grammatical dan ungrammatical. Dalam bahasa Inggris, "Sally likes Bob" bisa diterima, sedangkan "Likes Bob Sally" tidak bisa, padahal kata-kata dan makna kata-katanya sama dalam kedua frasa tersebut (2011: 197). 

Apabila urutannya diubah menjadi "Bob likes Sally", maka ada kalimat baru dengan makna yang berbeda (2011: 198). Perbedaan antara kedua kalimat ini menjadi fokus dari ilmu sintaksis.           

                          1.3.5 Pragmatik dan budaya

Menurut Kridalaksana, istilah pragmatik didefinisikan sebagai "syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi" (1982: 137). Richards dan Schmidt menambah bahwa pragmatik berhubungan dengan penggunaan bahasa dalam dunia nyata, terutama konteks tertentu (2005: 449). 

Mihalicek dan Wilson memberi contoh kalimat yang tidak bisa dipahami di luar konteks tertentu: "Can you take the trash out?" Kalimat ini bisa merupakan permintaan, atau, misalnya, kalau seseorang masih dalam masa penyembuhan setelah terlibat dalam kecelakaan mobil, dapat merupakan pertanyaan tentang kemampuan tubuh. Arti yang benar ditentukan oleh konteks di mana kalimat ini ditemukan (2011: 272).

Dalam penelitian ini, istilah pragmatik lebih tepatnya dipakai untuk melambangkan penggunaan bahasa yang terkait dengan pemahaman referensi budaya. Misalnya, apa yang diceritakan oleh Machali (2012: 84) tentang acara pemerintah dengan wartawan yang ditutup dengan frasa, "juga amplopnya sekalian," yang menandakan bahwa para wartawan akan menerima uang suap (2012: 85). 

Apabila seorang pemelajar tidak memahami konteks dari frasa tersebut, makna pragmatik akan tersembunyi ketika mereka menemukan kata amplop. 

Dalam upaya pemahaman konteks budaya, para pemalajar dihadapi dengan contoh referensi budaya yang terlihat (misalnya tokoh sejarah Indonesia dan daerah-daerah tertentu di Indonesia) baik tidak terlihat (misalnya nilai-nilai moral, norma, dasar hukum, dan proses kognitif -- lihat diagram berikut:).   

  

Tipe

 

Budaya "Huruf besar -- yang terlihat"

("Big C -- visible")

Budaya "Huruf besar -- yang tidak terlihat"

("Big C -- invisible")

Budaya "Huruf kecil -- yang terlihat"

("Little c -- visible")

Budaya "Huruf kecil -- yang tidak terlihat"

("Little c -- invisible")

Definisi umum*

Budaya objektif, garis besar: karya sastra, gerakan nasional

Budaya subjektif: tradisi, kebiasaan, adat, pikiran dan perilaku orang sehari-hari

Definisi spesifik*

sastra, musik klasik & tradisional, arsitektur, tokoh-tokoh sejarah, geografi

nilai-nilai moral, pendirian, keyakinan, norma, dasar hukum, asumsi, sejarah, proses kognitif

gestur, postur, penggunaan ruangan, mode pakaian, makanan, hobi, musik & seni (populer)

pendapat, pandangan, kesukaan, fakta umum, kecenderungan, kebiasaan

Contoh-contoh dalam konteks pendidikan BIPA

- kroncong (musik)

- Candi Borobudur (arsitektur)

- Pangeran Diponegoro (tokoh)

- jumlah suku dan bahasa di Indonesia (geografi)

- Pancasila (dasar hukum)

- gotong-royong (norma & nilai)

- pendirian terhadap hierarki di dunia kerja

- nasi pecel (makanan)

- kebaya (pakaian)

- Tulus (artis musik populer)

- Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia (fakta umum)

- istilah 'masuk angin' dan cara mengobatinya (pandangan)

- mandi sehari dua kali (kebiasaan)

* Definisi diadaptasi dari Wintergerst & McVeigh, (2011: 9) dan Peterson (2004: 24-25)

                       1.3.6 Kontak bahasa

Yang dimaksudkan dengan istilah kontak bahasa adalah "saling pengaruh antara pelbagai bahasa karena para bahasawannya sering bertemu" (Kridalaksana, 1982: 93), yang menurut Sneddon dkk. (2010: 2) berlangsung terus untuk penutur bahasa Indonesia. 

Menurut Richards dan Schmidt, kontak bahasa dapat terjadi ketika hanya salah satu bahasa terpengaruh oleh bahasa lain pada saat kedua bahasa tersebut dipakai dalam daerah tertentu (2005: 316). Salah satu akibat dari kontak bahasa adalah kata serapan, atau kata yang masuk dalam sebuah bahasa dari bahasa asing tetapi dengan ciri ciri kaidah bahasa yang kedua.

Dalam penelitian ini, kesulitan yang berhubungan dengan kontak bahasa muncul ketika pemelajar BIPA merasa bahwa kosakata dalam bahasa Indonesia yang sama atau mirip dengan kosakata dalam bahasa ibunya adalah sama, padahal tidak demikian. 

Contoh dari fenomena ini, yang juga dapat disebut dengan istilah teman palsu, adalah kata favorit dalam bahasa Indonesia, dibandingkan favorite dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia, kata favorit menandakan (1) orang yang dikira akan menang, atau (2) sesuatu yang disukai, tetapi dalam bahasa Inggris, favorite memiliki arti: apa yang lebih disukai dan dihargai daripada yang lain (terfavorit dalam bahasa Indonesia).

Unsur-unur etimologi yang dibahas dalam penelitian ini juga akan dikelompokan dalam kategori kontak bahasa karena pemahaman etimologi dapat menjadi bantuan bagi pemelajar BIPA dalam proses pembelajaran kosakata dan sejarah bahasa Indonesia. 

Bahasa Indonesia, seperti dijelaskan oleh Ermanto dan Emidar, telah "diperkaya oleh berbagai bahasa daerah dan bahasa asing" (2018: 5), antara lain: bahasa Sansekerta, Jawa, Sunda, Banjar, Papua, Batak, Minangkabau, Palembang, Arab, Belanda, Inggris, Portugis, Tamil, Prancis, Parsi, Cina dan Jepang (2018: 6-7). 

Tentu saja ada beberapa bahasa tertentu yang sangat berpengaruh dan menyediakan jumlah kosakata serapan yang lebih banyak daripada bahasa lain, seperti bahasa Arab, "karena masuknya Islam di nusantara [...] pada masa-masa awal" (Sya'roni, 2017: 136).

II. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan landasan teori cabang-cabang linguistik yang telah dibahas. Jenis data yang akan dikumpulkan adalah kualitatif: 

(1) contoh penggunaan bahasa Indonesia dalam tiga puisi narasi yang menunjukkan tata bahasa baku bahasa Indonesia; (2) kutipan dari ketiga karya sastra terkait, yang dapat digunakan untuk lebih memahami budaya dan wawasan Indonesia.  

Tiga puisi yang dipilih dari kumpulan Inspirasi Tanpa Api dan menjadi data penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • Dikadali Kadal...oh Kadal (Sastrio, 2018: 25-28). Puisi tersebut merupakan sebuah ratapan mengenai keadaan "manusia jelata" (2018: 26), terutama di daerah-daerah Nusa Tenggara Timur, namun dapat ditafsirkan bahwa rakyat daerah itu menjadi kiasan bagi rakyat Indonesia secara lebih luas. Keadaan rakyat yang masih menderita, atau kurang diperhatikan, dengan pendidikan "biasa-biasa saja" (2018: 26), dibandingkan dengan status "kadal raksasa" (2018: 25) di mata dunia dan para pejabat negara yang seringkali mengutamakan kepentingan makhluk tersebut.
  • Reshuffle Riak Gelombang Samudra (Sastrio, 2018: 52-55). Karya ini membahas sebuah perubahan para menteri dalam kabinet Indonesia dan mempertanyakan akibat, kesan, dan guna tindakan tersebut. Setelah merenungkan hubungan antara rakyat dan pemimpin negara, dengan beberapa masalah politik lain, penulis memberi saran: "sebaiknya sapu dimulai saja dari istana" (2018: 54)
  • Tidak Pernah, Tidak Boleh dan Tidak Akan (Sastrio, 2018: 190-192). Puisi ketiga kembali membahas masalah-masalah politik lagi, terutama masalah korupsi, KPK dan proses hukum terkait. Karya ini mengungkapkan kehausan penulis akan keadilan dalam proses hukum terkait korupsi, dan kejujuran dari para pejabat negara dan partai politik.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 

Penelitian ini mengategorikan contoh-contoh penggunaan bahasa Indonesia dari ketiga karya sastra tersebut berdasarkan cabang-cabang linguistik yang sesuai. Di bagian pembahasan, judul ketiga karya sastra terkait disingkatkan sebagai berikut: (1) Kadal, (2) Reshuffle, (3) Tidak Pernah. Berikut adalah sebuah contoh kalimat yang mengandung berbagai macam unsur linguistik: 

"Anak buahnya menerima suap, atas seizin mereka" (Reshuffle: 54) -- anak buah merupakan gabung kata yang terkait semantik; imbuhan se-, me- dan -nya terkait morfologi; kata atas berhubungan dengan semantik karena contoh polisemi -- 

dapat diartikan sebagai nomina atau preposisi dengan berbagai makna (antara lain: dari, dengan, karena, menjadi, tentang, berdasarkan, sehubungan dengan); suap bisa dipahami secara pragmatik dengan pemahaman budaya dan sejarah terkait tindakan suap, dan seizin dapat dikaitkan dengan fonetik karena ada perubahan dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI, 2015) yang mewajibkan penggunaan huruf z daripada j;  

dan kata izin dengan etimologi dari bahasa Arab bisa jadi contoh kontak bahasa. Walaupun satu kalimat atau frasa dapat dikaitkan dengan berbagai macam unsur-unsur linguistik, namun dalam penelitian ini, rata-rata frasa yang dikutip akan dibahas sesuai dengan hanya satu cabang linguistik yang paling relevan.

3.1 Fonetik & fonologi

Contoh yang paling tepat dari ketiga puisi tersebut untuk memahami unsur-unsur fonetik dan fonologi dari bahasa Indonesia ditemukan dalam judul puisi kedua: Reshuffle. Reshuffle adalah kata yang diambil dari bahasa Inggris, namun penulis langsung mencatat kata tersebut di kalimat pertama puisi Reshuffle sebagai 'risafel' dalam tanda kutip. 

Ketika kata tersebut dicatat sebagai risafel, ini merupakan perubahan cara menulis kosakata sesuai dengan phonotactic constraints (Mihalicek & Wilson, 2011) atau kendala/kaidah fonotaktik.

Walapun risafel sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia, kata tersebut tidak muncul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kata yang muncul dalam KBBI adalam reshuffle dengan definisi "Ing: mengubah susunan." Beberapa contoh kosakata serapan bisa ditemukan dalam ketiga puisi ini, tetapi hanya dalam kasus ini kosakata tersebut mengikuti ejaan bahasa asing. 

Contoh-contoh kata serapan lain yang terkandung dalam ketiga puisi sudah mengikuti ejaan bahasa Indonesia, seperti kata obyek dari frasa, "Sering kali dijadikan drama walau obyeknya manusia" (Reshuffle: 52). 

Menurut KBBI, ejaan obyek sudah tidak baku, tetapi ejaan objek (bentuk baku) sudah menyesuaikan kata object dari bahasa Inggris dengan kaidah fonotaktik bahasa Indonesia. Pemelajar BIPA bisa mengamati perubahan ejaan kata serapan untuk memahami kaidah fonotaktiknya bahasa Indonesia dengan lebih baik.

                        3.2 Morfologi

Karena begitu penting sistem morfologi dalam bahasa Indonesia, contoh imbuhan bisa ditemukan dalam setiap kalimat. Namun, bagi pemelajar BIPA, kekurangan dalam pemahaman akan sistem imbuhan seringkali menjadi halangan bagi peningkatan kemahiran berbahasa Indonesia (menurut Kaniah & Palupi, 2020). 

Pemelajar BIPA disarankan berusaha menerjemahkan beberapa kalimat atau klausa yang berada dalam karya sastra, sebagai latihan. 

Salah satu klausa yang mengandung beberapa unsur morfologi bisa dikutip dari Tidak Pernah, halaman 190: Bapak sering berjanji tetapi juga sering mengingkarinya. Pemelajar BIPA bisa membaca frasa-frasa seperti ini dan menentukan apa artinya dari prefiks "ber", prefiks "meng" (dan perbedaannya dengan me- saja), sufiks "-i" dan sufiks "-nya."

Sistem morfologi bisa dijelaskan oleh pengajar BIPA dengan teks yang sudah disediakan, untuk menunjukkan pembentukan nomina, seperti pejabat negara (Kadal: 27), "partai penguasa" (Reshuffle: 52), atau "menjadi bagian tujuh keajaiban dunia" (Kadal: 26, 28). Para pemelajar dan tenaga pengajar BIPA bisa menggunakan teks sastra untuk mendiskusikan aturan imbuhan -- 

misalnya, kenapa beberapa kosakata dibentuk dengan pe- dan beberapa dengan peng- antara lain. Pembentukan verba bisa dilihat, seperti dalam judul puisi pertama, Dikadali Kadal atau contoh verba pasif -- "Sang kadal raksasa yang juga digelari naga nusantara" (Kadal: 26). Ada pun contoh kosakata yang lebih kompleks, seperti, "Khususnya kala ketidakjujuran para pejabat negara" (Reshuffle: 53).

Antara lain, para pemelajar BIPA harus mampu membedakan antara contoh afiks yang sama dengan makna yang berbeda. Prefiks [ter-] muncul dalam dua frasa yang berdekatan tapi memiliki arti yang berbeda: "Paling tidak itulah yang diberitakan sumer terpercaya" dan "Yang lebih menyakitkan hati kala yang realita, terbuka" (Kadal: 27). 

Terpercaya di sini merupakan kata adjektiva, sedangkan terbuka merupakan kata verba. Tenaga pengajar BIPA bisa menggunakan contoh-contoh imbuhan tertentu dengan arti yang berbeda untuk melatih daya pikir para pemelajar dan mengembangkan pengetahuan mereka.

Ada berbagai macam contoh reduplikasi atau pengulangan dengan cara yang berbeda dan alasan yang berbeda: (1) dengan penambahan imbuhan -nya: wakil-wakilnya (Reshuffle: 54), (2) untuk menambah penekanan: hanya buang-buang energi percuma (Reshuffle: 52), dan dengan penggunaan pengulangan yang unik untuk tujuan lain: 

(3) Jadi membesar-besarkan adanya wacana kocok ulang (Reshuffle: 52) -- berbeda lagi dengan kata membesar-besar, berbesar-besar, besar-besaran atau membesarkan; (4) Dana serta sumber daya, dikerah habis-habisan (Kadal: 26); (5) Rakyat tetap menderita, pendidikan ya biasa-biasa saja (Kadal: 26).

                        3.3 Semantik

            Ada dua unsur semantik yang bisa ditemukan di teks puisi narasi, seperti yang dilihat dalam frasa, "Termasuk menteri dari partai penguasa, bukan main" (Reshuffle: 52): (1) idiom atau kiasan (bukan main) dan (2) sinonim (bukan dan tidak). Para ahli semantik seringkali menggali perbedaan antara dua kata yang memiliki makna yang mirip, seperti kata bukan di sini dan kata lain, tidak. 

Untuk perbedaan antara bukan dan tidak, bisa ditafsirkan bahwa perbedaannya masalah makna atau masalah struktural. 

Contoh sinonim lain adalah perbedaan nalar (definisi kedua di KBBI) dan logika, seperti frasa yang tercatat: "Wah pasti ada yang salah di luar nalar, di luar logika" (Kadal: 25). 

Contoh sinonim lain: "Betapa banyak teman, sahabat, kolega bahkan keluarga" (Tidak Pernah: 191) -- perbedaan antara teman dan keluarga dapat dipahami oleh pemalajar BIPA secara cepat, tetapi perbedaan teman dan sahabat lebih tipis, sehingga masing-masing kata tersebut digunakan untuk mendefinisikan yang lain dalam KBBI. 

Namun demikian, penutur asli bahasa Indonesia pasti bisa membedakan penggunaannya, walaupun belum tentu ada perbedaan yang jelas dalam kamus.

Mengenai polisemi, ada beberapa contoh: (1) "Terlaksana walau rentang nada semakin samar saja" (Reshuffle: 55) -- kata samar kaya dengan makna bervariasi (lihat definisi di KBBI); (2) "Lalu setelah itu sapu boleh ke para pejabat negara" (Reshuffle: 54) makna kata sapu di sini, atau menyapu, memilki arti sebagai kiasan untuk membersihkan atau menangani masalah; 

(3) "Intervensi tidak boleh ada termasuk dari kepala negara" (Tidak Pernah: 190) - kata ada mempunyai berbagai macam arti dan fungsi dalam bahasa Indonesia dan merupakan contoh kosakata yang sangat penting dipelajari oleh pemelajar BIPA. Kata ada memiliki empat definisi menurut KBBI, dan menjadi kata dasar bagi banyak kata turunan, gabungan kata dan peribahasa.

                        3.4 Sintaksis

Teks otentik dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan hubungan antar-kata dalam tata bahasa baku bahasa Indonesia. Contoh-contoh ini dapat dikategorikan dalam cabang linguistik sintaksis. Berikut adalah beberapa contoh penggunaan kata dalam kalimat:  

  • "Saya tak pernah, tak boleh, tak akan mencampurinya" (Tidak Pernah: 190). Contoh ini menunjukan perbedaan antara bahasa Indonesia dan banyak bahasa internasional lainnya -- bahwa tidak ada perubahan morfologi dalam bentuk kosakata verba untuk menyampaikan perubahan waktu. Sistem yang ada dalam bahasa Indonesia untuk menyampaikan pesan terkait waktu adalah melalui frasa seperti yang muncul di atas -- tak pernah menandakan kegiatan yang dilakukan seumur hidup sampai dengan saat si pembicara berbicara, dan tak akan mencampurinya menandakan waktu pada masa mendatang.
  • "Bapak acap ingin berdiri paling depan laksana panglima" (Tidak Pernah: 190). Frasa paling depan mempunyai arti yang seringkali dalam bahasa asing dapat diartikan melalui infleksi atau perubahan morfologi, bahkan di bahasa Indonesia pun ada prefiks terdepan dengan arti yang sama.
  • "Lalu setelah itu sapu boleh ke para pejabat negara" (Reshuffle: 54). Dua hal dapat dipelajari dari contoh ini: (a) kata para menandai jamak, dan (b) kata negara menjadi semacam pelengkap untuk kata pejabat sehingga menghasilkan kata benda majemuk.

                        3.5 Pragmatik & budaya

Contoh kosakata yang punya arti berbeda sesuai dengan konteks adalah kata bapak, misalnya dilihat di frasa "Sayangnya bapak kepala negara panutan" (Tidak Pernah: 190) atau "Hanya ia dan keluarga semata duh bapak kepala negara" (Tidak Pernah: 191), di mana referensi kata tersebut adalah presiden republik Indonesia. 

Namun dapat dipahami bahwa kata bapak dalam konteks lain dapat digunakan sebagai gelar seseorang, atau untuk beri hormat kepada seorang pemimpin. 

Menurut Hofstede (2022), salah satu ciri budaya Indonesia umum adalah hormat yang diberikan kepada pemimpin dan hierarki (lihat kategori power distance di sini, dibandingkan dengan nilai yang tercatat bagi masyarakat umum di Amerika Serikat):

Figure 1 - (Hofstede Insights, [HI], 2022)

Dengan mengamati konteks seperti ini, pengajar dan pemelajar BIPA dapat merenungkan keunikan budaya Indonesia dan perbedaannya dengan budaya lain, terutama budaya asli para pemelajar. Satu frasa lain yang mengandung makna wawasan Indonesia tentang pejabat sebagai orang yang harus dihormati atau disegani adalah: "Khususnya kala ketidakjujuran para pejabat negara" (Reshuffle: 53).

Selain makna pragmatik terkait budaya hierarki, ada contoh yang menyebut kepercayaan orang Indonesia, seperti: "Semua makhluk hidup ciptaan dan milik yang Mahakuasa" (Kadal: 28) -- terkait konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam budaya Pancasila (contoh budaya tidak terlihat karena terkait asumsi dan nilai moral). 

Pancasila sendiri disebut langsung dalam puisi Tidak Pernah: "Yang hukum dasarnya adil merata, berdasar Pancasila" (190) dan pasti pemelajar butuh bahan ajar pengayaan atau tambahan untuk memahami sejarah dan arti pancasila. Terkait sejarah dan wawasan Indonesia ada banyak contoh lagi, termasuk pemahaman akan legenda dan mitos: "Memang benar dia itu bukanlah malaikat apalagi dewa" (Tidak Pernah: 191).

Berikut contoh-contoh lain: (1) "Dapat percaya pada tegak, merdeka, dan bebasnya KPK?" (Tidak Pernah: 191); (2) "Ini jargon teranyar kepala negara republik nusantara"; (Tidak Pernah: 190) -- konsep nusantara muncul satu kali dalam puisi ketiga dan lima kali dalam puisi pertama; 

(3) "Yang kebetulan lebih akrab dengan lingkaran istana" (Reshuffle: 53) -- kata istana di sini mengandung makna geografis dan termasuk kategori budaya yang terlihat; yang dimaksudkan adalah Istana Merdeka di Jakarta, yang merupakan tempat kediaman resmi dan kantor Presiden Indonesia (contoh budaya terlihat); (4) "Duh...kepala negara, harapan insan anak bangsa" (Reshuffle: 54).

                        3.6 Kontak bahasa

Kata serapan bisa dilihat dalam frasa, "Ini jargon teranyar kepala negara republik nusantara" (Tidak Pernah: 190), di mana kata jargon merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, dan anyar merupakan kata serapan dari bahasa Jawa, 

dan dalam frasa "Guna mengangkat harkat martabat kaum tak berdaya" (Kadal: 27) di mana kata harkat, martabat dan kaum diambil dari bahasa Arab, sedangkan kata guna dan daya berasal dari bahasa Sanskerta. 

Satu hal yang harus ditekankan adalah perbedaan antar-bahasa, seperti kata partai, dari "Termasuk menteri dari partai penguasa" (Reshuffle: 52). Kata partai muncul sebanyak tujuh kali dalam puisi Reshuffle dan tiga kali dalam puisi Tidak Pernah; kata partai adalah contoh perbedaan antar-bahasa, karena dalam bahasa Inggris partai termasuk kategori polisemi, 

dengan arti pesta, dan kelompok, namun hanya salah satu dari kedua makna ini telah resap ke dalam bahasa Indonesia. Perbedaan seperti ini sangat bermanfaat sebagai bahan diskusi bagi pemelajar BIPA untuk lebih memahami penggunaan kosakata.

Contoh dari bahasa Sanskerta: (1) wibawa - Tetapi hukum akan tegak penuh wibawa (Tidak Pernah: 192); (2) percaya - Dapat percaya pada tegak, merdeka, dan bebasnya KPK? (Tidak Pernah: 192); (3) tersangka - "Biarkan semua ditindak, biar semua dijadikan tersangka" (Tidak Pernah: 191); 

(4) dosa - "Tapi jika percaya yang berdosa lakukan tindakan tercela" (Tidak Pernah: 191); (5) wacana - "Tidak lebih dari hanya sekedar rencana dan wacana" (Reshuffle: 52).

Contoh dari bahasa Arab: (1) abadi - Tidak pernah abadi, semua hanyalah sementara saja" (Reshuffle: 52); (2) mustahil dan (3) nurani -- Duh...kepala negara mustahil nurani kesadaran sukma (Tidak Pernah: 191); (4) khatulistiwa -- Ya alam ya budaya, ya flora ya fauna, ya khatulistiwa (Kadal: 25); 

(5) hukum -- Meskipun putusan hukum belum sempat berbicara (Reshuffle: 54); (6) manfaat -- Lalu dikelola dengan seksama supaya ada manfaatnya (Kadal: 25); (7) sahabat -- Betapa banyak teman, sahabat, kolega, bahkan keluarga (Tidak Pernah: 191); 

(8) saat -- Pada saat yang sama ada sesama manusia menderita (Kadal: 25); (9) khilaf -- Memaparkan semua kekhilafan dan kesalahan yang ada (Tidak Pernah: 191). Banyak sekali kata serapan dari bahasa Arab masuk bahasa Indonesia, 

terutama yang berhubungan dengan agama dan berbagai filsafat karena hubungan antara Indonesia dan negara-negara Arab dalam sejarah, dan pengaruh bahasa Arab di Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk penganut agama Islam tertinggi di dunia.

Contoh dari bahasa Inggris: (1) mobilisasi - "tatkala mobilisasi massa diuji coba" (Kadal: 25); (2) oktaf - "Maka jadilah wacana biasa yang tinggi nada oktafnya" (Reshuffle: 53); (3) elit - "Banyak amat elit partai banyak juga para pejabat negara" (Tidak Pernah: 191); (4) naif - "Betapa naif menggelikan, seperti bapak duga bapak kira" (Tidak Pernah: 191); (5) komando - "Memberi komando guna berantas semua benalu negara" (Tidak Pernah: 190).


IV. SIMPULAN

Hasil penelitian pendek ini membuktikan bahwa teks otentik seperti puisi narasi dapat digunakan sebagai media bahan ajar BIPA untuk meningkatkan pengetahuan pemelajar akan kayanya bahasa Indonesia, dan dapat dimanfaatkan untuk mengajar ilmu dari berbagai macam cabang linguistik. 

Unsur-unsur dan topik-topik linguistik yang dapat ditemukan dalam puisi narasi Inspirasi Tanpa Api adalah: (1) kaidah fonotaktik, (2) idiom, (3) sinonim, (4) polisemi, (5) perbedaan antar-bahasa, (6) etimologi dan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional yang selalu berinteraksi dengan dunia luar dan bahasa asing; 

(7) kekayaan bahasa Indonesia dari segi budaya, baik budaya yang terlihat maupun yang tidak terlihat.

Tenaga pengajar BIPA dianjurkan untuk memanfaatkan teks otentik sebagai bahan ajar dasar untuk mengembangkan bahan ajar pengayaan terkait unsur-unsur tersebut. Pemelajar dapat diajar tentang tata bahasa baku bahasa Indonesia dan ditugaskan untuk menemukan contoh-contoh lain dalam puisi narasi berikutnya atau teks otentik lainnya. 

Pengajar BIPA dapat mengembangkan latihan tata bahasa dalam bentuk soal latihan untuk membantu para pemelajar memahami unsur-unsur linguistik dari teks otentik. Semua kegiatan belajar mengajar mengenai tata bahasa dapat disertai dengan latihan keterampilan membaca tentang isi teks terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Amanat, T. (2019). Pemataan situasi dan kondisi kebahasaan dalam mendukung

keberhasilan program BIPA di Timor Leste. Jurnal Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing, 1(1), 41-52. doi:10.26499/jbipa.v1i1.1695

Ermanto & Emidar. (2018). Bahasa Indonesia: Pengembangan kepribadian di 

            perguruan tinggi. Depok: Rajawali Pers.

Handoko, M., Fahmi, R., Kurniawan, F., Artating, H. & Sinaga, M.  (2019).

Potensi pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Jurnal Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing, 1(1), 22-29. doi:10.26499/jbipa.v1i1.1693

Hertiki. (2017). Pengajaran dan pembelajaran BIPA di perguruan tinggi Polandia.

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 6(2), 1-5. doi: 10.15294/jpbsi.v6i2.20226

Hofstede Insights. (2022). Country comparison: Indonesia -- the USA. Retrieved

from https://www.hofstede-insights.com/country-comparison/indonesia,the-usa/

Kaniah, & Palupi, D. (2020). Keberterimaan struktur kalimat dan pilihan kata

dalam esai mahasiswa asing pada tes kemampuan berbahasa Indonesia. Jurnal Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing, 2(2), 88-99. doi: 10.26499/jbipa.v2i2.2863 

Kridalaksana, Harimurti. (1982). Kamus linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Kurniasih, D. & Isnaniah, S. (2019). Penerapan bahan ajar bahasa Indonesia bagi

penutur asing (BIPA) "Sahabatku Indonesia" tingkat dasar di IAIN Surakarta. Jurnal Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing, 1(2), 62-71. doi: 10.26499/jbipa.v1i2.1793

Machali, R. (2012). Gricean maxims as an analytical tool in translation studies:

Questions of adequacy. TEFLIN Journal, 23(1), 77-90. doi:10.15639/teflinjournal.v23i1

Mahayana, M. (2018). Sahabatku Indonesia: Memahami Indonesia melalui 

sastra. Buku 1: Perjalanan sastra Indonesia. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Meilinawati, L. (2016). Sahabatku Indonesia: untuk anak sekolah tingkat B-1: 

Buku ajar bahasa Indonesia bagi penutur asing. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Mihalicek, V., & Wilson, C. (Eds). (2011). Language files: Materials for an 

introduction to language and linguistics, 11th ed. Columbus, OH: Ohio State University.

Peterson, B. (2004). Cultural intelligence: A guide to working with people from 

other cultures. Yarmouth, ME: Intercultural Press.

Quinones Jr., R., & Mayrena, M. (2020). Bahasa Indonesia language program

impact analysis in the Polytechnic University of the Philippines Manila: a basis for the bahasa Indonesia's inclusion in the ab English language studies' and ab literary and cultural studies' curriculum. Jurnal Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing, 2(1), 11-21. doi:10.26499/jbipa.v2i1.2401

Richards, J. & Schmidt, R. (2005). Longman dictionary of language teaching & 

applied linguistics, 4th ed. Harlow: Pearson Education Limited.

Roesdiono, E. (2012, Agustus 30). Pelajaran Bahasa Indonesia Gratis untuk

Wisatawan Asing. Kompasiana Eddy Roesdiono. Retrieved from  https://www.kompasiana.com/eddyroesdiono/55173c64a333113007b659f6/pelajaran-bahasa-indonesia-gratis-untuk-wisatawan-asing

Sastrio, T. (2017). Bahasa Indonesia telah diproklamasikan sebagai bahasa

internasional. Fon: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 11(2).

Sastrio, T. (2018). Inspirasi tanpa api: Esai dalam puisi. Sukabumi: CV Jejak.

Sneddon, J., Adelaar, A., Djenar, D. N., & Ewing, M. C. (2010). Indonesian: A 

comprehensive grammar, 2nd ed. New York, NY: Routledge.

Susani, R. (2020). Penerapan dan evaluasi pendekatan berbasis teks dalam

pembelajaran BIPA di Hanoi, Vietnam. Jurnal Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing, 3(2), 96-103. doi:10.26499/jbipa.v2i2.2845

Susani, R. (2022). Perlunya mengembangkan materi ajar BIPA bagi pemelajar

yang berprofesi sebagai pramuwisata di Hanoi, Vietnam. In Indonesia-Vietnam dan Bahasa Indonesia. (pp. 89-101). Srikaton: Penerbit Lakeisha.

Sya'roni, E. (2017). Analisis kontrastif dalam pembelajaran bahasa perspektif

filsafat "Kesemestaan bahasa." In A. Rosyidi (Ed.) Filsafat Pembelajaran Bahasa (Perspektif Strukturalisme dan Pragmatisme). (123-152). Yogyakarta: Naila Pustaka.

Wintergerst, A. & McVeigh, J. (2011). Tips for teaching culture: Practical 

approaches to intercultural communication. White Plains, NY: Pearson Longman.

Wurianto, A. (2022). BIPA di Vietnam sarana peningkatan kerja sama ekonomi

Indonesia-Vietnam. In Indonesia-Vietnam dan Bahasa Indonesia. (pp. 1-

10). Srikaton: Penerbit Lakeisha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun