Ya, dirinya ayah gagal. Menjaga putrinya saja tak becus. Perasaan menjadi ayah gagal ini lebih menghancurkan dari pada penyakit kekentalan darah.
Calvin Wan ayah gagal. Bayang-bayang itu terus saja merendahkannya. Menyoraki kegagalannya sebagai ayah. Terpukul Ayah Calvin, amat terpukul.
Sisa malam itu terlewati dalam kegagalan yang bertumpuk. Ayah Calvin tak dapat memejamkan mata. Satu-dua jam sekali, Silvi bangun dan menuntut luka. Silvi seperti dikuasai virus tantrum. Tahulah dia kalau Silvi bisa mengamuk dan tak stabil kapan saja.
"Kenapa Ayah meninggalkanku?" Silvi meraung frustasi pada kali kedua amukannya.
"Kemana Ayah di hari wisuda TK? Kemana Ayah saat hari pertama masuk SD? Dimana Ayah ketika semua teman sekelasku mengambil rapor bersama ayahnya?"
Rentetan kalimat itu terhambur dari bibir Silvi dengan penuh emosi. Menusuk ulu hati sang ayah. Menindih hati ayah baik hati itu dengan sesal.
"Kenapa Ayah baru datang sekarang?"
Sudah terlambatkah dirinya? Ayah gagal. Ayah yang tidak tepat waktu.
Raga Ayah Calvin tak pernah mendampingi Silvi di hari-hari spesialnya. Sang pria musim dingin melewatkan masa golden age putrinya. Ia biarkan Silvi bertumbuh tanpa figur ayah. Silvi lelah menanti Ayahnya. Ayah Calvin lelah menanti pengakuan Bunda Manda. Sesungguhnya, lelah ini milik mereka semua.
Ayah Calvin menundukkan pandang. Menatapi kedua kaki Silvi yang ditutupi selimut. Kaki yang sebenarnya cantik dan berkulit indah. Sayangnya, kulit itu terlalu sering dilukai. Anaknya yang cantik tak boleh terluka lagi.
Pukul empat pagi, Ayah Calvin menyudahi tidurnya. Dia kecup kening Silvi penuh kasih. Beranjak meninggalkan kamar.