Lelah Ini Milikku dan Milikmu
Selamat tinggal antrean panjang. Good bye ruang rawat kelas dua. Selamat datang layanan first class.
Tujuh tahun umurnya, akan tetapi Silvi telah mencicipi bermacam pelayanan di fasilitas kesehatan. Dia pernah merasakan letihnya menunggu berjam-jam di rumah sakit hanya untuk bertemu dokter dan mendapat sebungkus obat. Suatu kali, dia menginap di ruang rawat kelas dua selama hampir seminggu saat Opa Hilarius dirawat karena penyakit kankernya.
Dan...
Malam ini, kali pertama Silvi menikmati pelayanan terbaik di rumah sakit. Bukan dia dan Bundanya yang mengejar-ngejar dokter. Justru pria berbaju putih dengan stetoskop terkalung di leher itulah yang menghampiri. Bukan suster berwajah jutek yang ditemuinya. Melainkan suster berparas manis penuh senyum.
Terima kasih untuk Ayah Calvin. Mr. Limited Edition kelebihan uang itu membawa putrinya pada tim dokter spesialis kulit terbaik. Memastikan balon berdarah di kaki Silvi dibasmi dengan obat kualitas premium. Praktis Silvi dan Bunda Manda tak perlu risau memikirkan berapa kali lagi harus bolak-balik ke rumah sakit hanya untuk bertemu dokter beberapa menit saja.
Lihatlah, anak cantik itu telah kembali ke kamarnya. Lembut Ayah Calvin membaluri balon merah di kaki Silvi dengan obat. Sementara itu, Bunda Manda menyiapkan obat lainnya dalam bentuk pil yang harus diminum.
"Silvi, cepat sembuh ya Nak. Biar Silvi bisa main lagi, bisa belajar..." ujar Ayah Calvin menyemangati.
Ucapan motivasinya hanya diangguki Silvi. Ia masih terlalu lelah untuk sekedar berkata-kata. Pedih di kakinya menyita segala perhatian.
"Minum ini, Silvi. Biar infeksinya hilang." Bunda Manda menyodorkan segelas air bening dan dua butir pil.
Silvi membelalak. Pilnya besar sekali. Bagaimana menelannya? Membaca keresahan Silvi, Ayah Calvin merebut benda-benda dari tangan istrinya. Ditumbuknya pil menjadi serbuk. Lembut dan hati-hati, Ayah Calvin menyuapi Silvi dengan sesendok penuh serbuk obat.
Pahit sekali. Hampir muntah Silvi karenanya. Ayah Calvin dihadiahi tatapan mencela dari Bunda Manda.
"Calvin! Obat itu pahit sekali!" sergahnya marah.
"Lebih baik menelan obat pahit atau gagal menelan?" balas Ayah Calvin. Nadanya kalem, tapi kalimatnya menikam sisi finalitas perdebatan.
Bibir Bunda Manda terkatup. Keras kepala, batinnya jengkel. Tersimpan sisi keras kepala di balik kelembutan lelakinya.
"Nah, sekarang Silvi tidur ya. Ayah temani."
Silvi menurut. Menggulung diri dengan selimut bermotif Snow White. Ayah Calvin naik ke ranjang, berbaring di samping putrinya. Mata Bunda Manda berkilat cemburu. Betapa erat ayah dan anak itu. Bisa-bisa posisinya tergeser.
Tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Silvi sudah tidur. Pesanan katering tertangani. Sepelan mungkin, wanita berambut indah itu berjalan pergi.
Andai saja Bunda Manda tinggal lebih lama lagi di sana...
Lewat lima menit dari pukul sebelas saat Silvi terbangun. Ia bangun dalam keadaan kacau. Gadis berpiyama soft pink itu berteriak. Teriakannya merobek keheningan malam.
Ayah Calvin ikut terbangun. Ngeri hatinya menjumpai Silvi berteriak sembari memukuli dinding dengan kepalan tangan.
"Silvi mau luka! Silvi mau luka!"
Beberapa jurus kemudian, Ayah Calvin memeluk Silvi. Ia peluk Silvi begitu erat hingga gadis kecilnya tak dapat bergerak. Terang saja bocah cantik itu makin menggila karena hasrat melukai diri terpenjara.
"Tidak boleh, Sayangku. Silvi tidak boleh terluka lagi." Ayah Calvin melarangnya dengan lembut.
"Ayah jahat! Kenapa Ayah larang Silvi?"
Apakah hal ini sering terjadi? Malam-malam jadi lebih mencekam dengan hadirnya hasrat ingin luka. Ketakutan menyergap hati Ayah Calvin.
Hilang konsentrasi sedikit saja, pelukan melonggar. Silvi leluasa memukuli diri. Ayah Calvin menghela nafas berat, tangannya meremas dada. Sakit, sakit sekali menyaksikan adegan memilukan. Hanya ayah psikopat yang tak hancur kala anak perempuannya menyakiti diri.
"Silvi, kenapa kamu lakukan itu? Tidak boleh, Sayang. Tidak boleh..."
"Karena Ayah!" teriak Silvi ke muka Ayahnya.
Bayang kegagalan melintas. Tertawa mengejek Ayah Calvin. Meniupkan frasa 'ayah gagal' di belakang kepala.
Ayah gagal.
Ayah gagal.
Ayah gagal.
Ya, dirinya ayah gagal. Menjaga putrinya saja tak becus. Perasaan menjadi ayah gagal ini lebih menghancurkan dari pada penyakit kekentalan darah.
Calvin Wan ayah gagal. Bayang-bayang itu terus saja merendahkannya. Menyoraki kegagalannya sebagai ayah. Terpukul Ayah Calvin, amat terpukul.
Sisa malam itu terlewati dalam kegagalan yang bertumpuk. Ayah Calvin tak dapat memejamkan mata. Satu-dua jam sekali, Silvi bangun dan menuntut luka. Silvi seperti dikuasai virus tantrum. Tahulah dia kalau Silvi bisa mengamuk dan tak stabil kapan saja.
"Kenapa Ayah meninggalkanku?" Silvi meraung frustasi pada kali kedua amukannya.
"Kemana Ayah di hari wisuda TK? Kemana Ayah saat hari pertama masuk SD? Dimana Ayah ketika semua teman sekelasku mengambil rapor bersama ayahnya?"
Rentetan kalimat itu terhambur dari bibir Silvi dengan penuh emosi. Menusuk ulu hati sang ayah. Menindih hati ayah baik hati itu dengan sesal.
"Kenapa Ayah baru datang sekarang?"
Sudah terlambatkah dirinya? Ayah gagal. Ayah yang tidak tepat waktu.
Raga Ayah Calvin tak pernah mendampingi Silvi di hari-hari spesialnya. Sang pria musim dingin melewatkan masa golden age putrinya. Ia biarkan Silvi bertumbuh tanpa figur ayah. Silvi lelah menanti Ayahnya. Ayah Calvin lelah menanti pengakuan Bunda Manda. Sesungguhnya, lelah ini milik mereka semua.
Ayah Calvin menundukkan pandang. Menatapi kedua kaki Silvi yang ditutupi selimut. Kaki yang sebenarnya cantik dan berkulit indah. Sayangnya, kulit itu terlalu sering dilukai. Anaknya yang cantik tak boleh terluka lagi.
Pukul empat pagi, Ayah Calvin menyudahi tidurnya. Dia kecup kening Silvi penuh kasih. Beranjak meninggalkan kamar.
Mula-mula dia membereskan dapur. Tak habis pikir betapa berantakannya tempat itu. Keranjang sampah di sudut penuh sekali. Dibuangnya isinya ke luar rumah.
Kini Ayah Calvin mulai beradaptasi dengan lingkungan baru. Tak masalah tinggal di rumah tanpa asisten rumah tangga. Saatnya menyiapkan sa...
"Apa yang kaulakukan?"
Suara sedingin Brugge di bulan Desember itu menginterupsi kesibukannya. Bunda Manda mendekat. Masih tersisa gurat keletihan dan ada lingkaran sehitam ter mengelilingi kedua mata indahnya.
"Mau sarapan apa, Manda? Biar aku buatkan," Bukannya menjawab, Ayah Calvin malah balik bertanya.
"Nope. Aku bisa siapkan sendiri."
"Apa salahnya memasakkan sarapan untuk istriku? Aku hanya ingin...uhuk."
Ayah Calvin menghela nafas, terbatuk untuk kedua kali. Sesaat ia bersandar ke meja dapur, satu tangannya mencengkeram tepi meja.
Lupa.
Semua keruwetan ini melesapkan ingatan Ayah Calvin. Ingatan tentang anjuran dokter. Ayah Calvin perlu banyak istirahat. Sakit di tubuhnya hanya bisa dilawan dengan istirahat cukup. Sindrom pengentalan darah ini membuat penyintasnya cepat lelah.
Inilah yang ditakuti Bunda Manda. Ia lihat Ayah Calvin muntah darah. Gumpalan kekecewaan dan kemarahan adu kuat dengan bongkahan kecemasan.
** Â Â
Rindu ini takkan mati
Walaupun apa yang terjadi
Oh Akankah Sang mentari
Sampaikan Ceritaku ini
Aku lelah
Dan teramat lelah
Menanggung Beban sendiri
Aku lelah.
Ku teramat lelah
Biarkan bintang
Tak terangi
Asalkan kau.ada di sini
Akan ku lakukan semua
Sgala yang kau minta
Agar kau bahagia
Luka ini
Tak sakiti
Kan kurasakan sampai mati
Aku lelah
Ku teramat lelah
Menanggung Beban sendiri
Aku lelah
Ku teramat lelah
Biarkan bintang
Tak terangi
Asalkan kau ada di sini
Akan ku lakukan semua
S'gala yang kau minta
Ingin kau bahagia
Lelahku mengerti disini
Ditemani bulan dan mentari
Dengan cinta yang tulus dan suci
Rasa lelah ini
Kan Sangat berarti
Aku lelah
Dan teramat lelah (Cakra Khan-Lelah).
** Â Â
Rasa lelah ini menghinggapi hati si bungsu keluarga Mueler. Nanda lelah, teramat lelah menunggu Bunda Manda. Lelahnya ia bawa ke kamar mewah di sebuah resort tepi pantai.
Ombak berdeburan. Pasir putih berdesir. Dahan pohon menari dibelai angin pantai. Suara riang anak-anak berlarian memperebutkan bola. Semua itu tak cukup mengobati lelah hati bungsu jewelry sibling.
Kurang apa dirinya? Janji masa depan cerah tergenggam di tangan. Segala fasilitas terbaik dapat dia berikan. Mengapa Bunda Manda terus menarik ulur perasaannya? Terkadang wanita itu sedekat hati. Di lain waktu, dia sejauh planet Neptunus.
Lelahnya Nanda terbaca Barki. Kakak menyusul adiknya ke rumah peristirahatan. Mengguncang pelan lengannya. Bertanya ada apa.
"Nanda, dengarkan aku." Kata Barki serius. Menatap mata adiknya lurus-lurus.
"Jewelry sibling terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan."
Nanda tersenyum hambar. Nampaknya tidak kali ini. Cepat atau lambat, dia harus mengucapkan selamat tinggal pada Bunda Manda.
"Eits, jangan sampai. Kita singkirkan pria setengah baya yang menghalangi langkah kita," ceplos Barki mantap.
"Menyingkirkan Calvin? Tidak, aku belum mau turun pangkat jadi antagonis di opera sabun. Main dengan cara kotor."
Barki melotot tajam. "Siapa yang mengajakmu turun pangkat? Aku punya cara yang lebih bersih. Just wait and see."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI