Hati Secret Admirer Itu Patah
Sehari setelah pernikahan Revan-Chef Mutiara, Calvin bangun terlambat. Ia terbangun tiga jam melampaui jadwal rutin minum obatnya. Berantakan, semuanya berantakan.
Calvin melirik resah ke sampingnya. Sivia masih terlelap. Kedua mata birunya terpejam. Tegakah Calvin membangunkan Sivia? Rasanya tidak. Pesta pernikahan itu sempurna menguras energi mereka. Sampai-sampai harus terbayar dengan tidur lebih panjang.
Sepelan mungkin, Calvin turun dari tempat tidur. Dibukanya bungkusan berisi obat. Pil-pil putih menggelinding ke karpet. Kepalanya serasa dihantam puluhan revolver. Calvin mengerang putus asa. Membungkuk, memunguti pil-pil yang berkejaran.
Air putih dituang ke gelas kristal. Dia menelan semua pil sekali teguk. Ingin ritual ini cepat selesai.
Tapi...
"Uhuk..." Calvin memuntahkan kembali obatnya.
Tak sampai di situ saja. Sakit di kepalanya diikuti rasa mual yang menghebat.
Di ruang putih beraroma citrus yang menyisakan sedikit busa sabun itu, Calvin muntah. Sebulan terakhir ia sering mengalaminya. Batang otaknya menstimulasikan rasa mual yang tak tertahankan. Apakah gumpalan-gumpalan darah yang mengental mulai terbentuk di otaknya? Sepersekian menit Calvin muntah-muntah. Ia bersyukur Sivia tak perlu melihatnya saat ini.
Ketika ia selesai mandi dan membereskan sisa muntahan, Sivia belum terjaga. Calvin lega. Pelukan Tuhan pada Sivia teramat nyaman, hingga ruhnya masih pulas dalam lelap.
"Maaf Princess, aku terpaksa meninggalkanmu. Sebentar saja..." sesal Calvin.