"Ada beberapa hal yang harus kita lakukan untuk Calvin. Kita harus pastikan dia rutin meminum obat anti koagulan dan anti platelet. Obat-obatan pengencer darah ini harus diminum pada jam yang sama setiap harinya. Agar proses pencampuran obat dengan darahnya stabil di waktu yang sama."
Aku mengangguk. Akan kupastikan itu terjadi. Alea menimpali.
"Sebaiknya, Calvin berhenti bekerja di kantor. Dia perlu banyak istirahat. Jam kerja office hour bisa memperburuk kondisinya. Oh iya, satu lagi. Pindahkan Calvin ke rumah di sebelah rumah kami."
Jose melempar pandang tak percaya pada istrinya. "Jangan, Alea. Kamu mau Calvin direpotkan dengan tetangga-tetangga ajaib? Calvin sedang sakit.Â
Masa dia harus menghadapi Reinhard yang suka biarin hewan peliharaannya masuk halaman rumah tetangga, Rinjani yang sering pinjam beras plus gula plus kopi, Revan si duda gagal nikah yang kerjanya minta sarapan, dan pasangan Barbie-Kent yang selalu kirim eksperimen masakan mereka yang nggak enak itu?"
Mau tak mau aku merasa geli. Saudara iparku yang biasanya irit bicara, kini berbicara lebih dari satu kalimat. Dari tampangnya, Alea pun merasa lucu.
"Justru itu baik untuk Calvin, Sayang. Ia akan dijaga banyak orang. Keluarga terdekat kita di lingkungan rumah adalah tetangga. Kalau Calvin masih tinggal di rumahnya yang sekarang, aku sangsi tetangganya akan peduli bila dia tiba-tiba sakit."
Hmmm, benar juga. Perumahan elite mengajarkan budaya individualis. Setelah menyepakati beberapa hal, kami pun menyusul Calvin dan Arini ke kedai es krim.
Melihat senyuman Calvin dan Arini, aku tak tega. Mana mungkin kuhapus senyuman dari wajah mereka dengan berita buruk? Kuharap aku masih punya banyak waktu bersama Calvin.
"Jadi...aku sakit apa?" tanya Calvin, memandang wajah kami satu per satu.
"Kamu baik-baik aja. Cuma perlu banyak istirahat." Alea menjawab, nadanya menenteramkan.