"Ah syukurlah kamu sudah datang, Sivia. Calvin mana?" Alea menanyaiku.
"Keluar sebentar. Beliin es krim buat Arini."
Sesaat Jose dan Alea berpandangan. Amplop berisi hasil tes tergenggam di tangan Alea. Kupandangi amplop itu dengan kalut. Energi negatif mengalir dari amplop putih itu.
"Sivia, kumohon setelah ini kamu bisa sedikit melunak pada suamimu." Alea menghela napas berat sebelum meneruskan.
"Calvin terkena kelainan darah. Sindrom kekentalan darah. Telah terjadi penggumpalan darah di paru-parunya. Penyakit darah inilah yang membuatnya mudah sakit dan lelah."
Langit runtuh menimpa kepalaku. Barbel menjatuhi kakiku. Aku terhuyung nyaris jatuh. Iris biruku menyemburkan air mata.
"No way! Calvin tidak sakit! Dia baik-baik saja!" Aku setengah berteriak. Jose mengisyaratkan agar aku tenang.
"Kenyataannya begitu, Sivia. Malaikatmu sakit. Dia butuh kamu."
"Haruskah kita memberi tahu Calvin?"
Jose dan Alea kompak menggeleng. Cukup banyak beban yang mesti dihadapi Calvin. Sementara ini dia tak perlu tahu.
"Sivia, dengarkan aku." kata Jose, menatapku lurus-lurus.