Frater yang sama, menarik kasar tanganku dan melempar tasku ke jalan. Kuku-kukunya yang tajam menggores tanganku. Seorang ayah satu anak, membentak-bentakku hanya karena aku terlalu sibuk. Seorang pelatih paduan suara, membiarkanku berjalan tertatih setelah terluka.Â
Ayah kandungku, menghamburkan rentetan makian dan memutar-mutarkan tanganku dengan kekuatan ekstra. Sekumpulan wanita penggosip di radio, menyebutku pelakor karena berani mendekap pria beristri.
Biarlah, biarlah kini Calvin yang menanggung sakitnya masa laluku. Ia sendiri yang berjalan masuk ke dalam kehidupanku, dan memintaku menjadikan dirinya sebagai pelampiasan. Ok, kuturuti permintaannya dengan sepenuh hati.
Calvin rebah di kakiku. Dia kesakitan, amat kesakitan. Kuturunkan tanganku. Sinar mataku meredup. Oh God, apa yang telah kulakukan pada malaikatku?
** Â Â
Aku tersentak bangun. Keringat dingin membanjiri punggungku. Kenangan yang menjelma menjadi mimpi.
Aku memimpikan suamiku. Tetapi bukan mimpi yang indah. Dalam mimpiku, aku melukainya. Seperti yang sering kulakukan padanya. Impianku berupa salah satu fragmen kenangan saat aku melukainya.
"Calvin..." desisku.
Hatiku dicengkeram rindu. Jauh dari malaikatku membuatku diserang virus rindu. Kenyamanan artifisial di apartemen ini tak bisa menawar rindu yang meracuni jiwaku.
Rindu ini berpagut dengan kesepian. Aku membenci sepi. Calvin sering kali mengajariku menikmatinya. Namun aku tak bisa, sungguh tak bisa.
Sama tak bisanya dengan niatanku menghapus nama Calvin dari benakku. Well, aku telah lama kabur dari rumah dan meninggalkannya. Rindukah dia padaku? Tergerakkah hatinya mencariku? Ataukah dia bersyukur aku pergi?