Oh ya, aku ingat. Aku pergi setelah mendaraskan luka di tubuhnya. Luka kesekian yang aku buat. Pasti dia kesakitan.
Tuhan, jahatkah aku? Aku sudah melukai belahan jiwaku berkali-kali. Dia tak pantas menerimanya. Akan tetapi, dia sendiri yang merelakan tubuhnya disakiti.
Aku menyakiti Calvin bukan karena aku membencinya. Tidak, dia terlalu baik untuk dibenci. Aku sangat, sangat mencintainya. Justru karena dalamnya cinta, aku terus berhasrat melukai pendamping hidupku sendiri. Hanya pada Calvin aku berhasrat melukai.
Semakin sering aku melukainya, semakin besar rasa cintaku. Dia kian berharga di mataku. Ah, malaikat tampan bermata sipitku. Aku butuh kamu di sini.
Dentang bel membuyarkan lamunanku. Cepat-cepat kuhapus air mata. Siapa yang bertamu sepagi ini? Jelas bukan tetangga. Tak ada kata tetangga dalam konvensi lingkungan apartemen ini. Yang ada hanyalah sesama penghuni. Jangan harap penghuni pintu sebelah mengenal namaku.
Pintu kubuka. Seorang pria bertubuh gempal dan berkaus hitam menyodorkan buket bunga lily. Aku menerimanya dengan hati penuh tanya. Seingatku, aku tidak pernah memesan lily putih.
"Dari siapa ya?" tanyaku penasaran.
Sebagai jawaban, si pengantar bunga menunjukkan sebuah kartu. Tulisan tangan Calvin yang rapi sangat kukenali.
Kuterima bunga itu dengan hati berdesir-desir. Yes, Calvin masih mengingatku. Masih terngiang ucapannya tentang bunga lily.
"Kamu tahu mitologi Yunani tentang bunga Lily, Princess?" Calvin mengetesku suatu sore.
"Nggak. Memang gimana ceritanya?"