"Di laboratorium. Bosan sekali menunggu di sini, Sivia."
Rasa takut kembali menyergap hatiku. Ada apa dengan Calvin? Mengapa penyakit ringan membuatnya harus tes darah?
"Daddy...Arini mau es krim." rengek Arini tiba-tiba.
Anak kecil bodoh, umpatku dalam hati. Bisa-bisanya dia minta es krim pada orang sakit. Kulihat Calvin membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Arini.
"Iya, Sayang. Di samping rumah sakit ada kedai es krim yang enak banget. Kita ke sana."
"Calvin! Kamu lagi sakit..."
"No problem, Sivia."
"Arini maunya sama Daddy aja. Mommy Sivia galak..."
Kurang ajar betul. Penilaian anak kecil terlalu jujur dan tak bisa dikontrol. Alhasil kubiarkan Calvin membawa Arini pergi.
Kursi tunggu membisu. Kuhempaskan tubuh di atasnya. Aku menunggu-nunggu Jose dan Alea dengan hati cemas.
Semenit. Tiga menit. Lima menit, terdengar bunyi roda-roda kursi menggelinding di lantai. Rasanya aku familiar. Kulihat Jose dan Alea di ujung koridor. Mereka bergegas mendekatiku.