"Tidak. Akan kuganti kalau aku sudah diterima kerja." Rossie menampik, wajahnya kalut.
"Tidak perlu, Rossie. Keluargamu lebih membutuhkan bantuanmu. Jangan pikirkan...karena sahabat sejati takkan merasa direpotkan, meski terus berkorban."
** Â Â
Suster senior itu kewalahan. Anak cantik yang dijaganya terus-terusan menangis. Sivia menolak makan siang. Ia pun memberontak saat suster akan memberi obat tetes mata.
Mood Sivia berubah kacau sejak ditinggal Calvin. Gadis kecil itu trauma. Bayangan kejadian dua bulan lalu menghantam memorinya. Calvin yang meninggalkannya begitu lama, Calvin yang meninggalkannya sampai lewat tengah malam untuk urusan rumah duka dan kremasi. Sivia terpukul, amat terpukul.
"Sivia, makan dulu ya. Kamu belum makan dari tadi. Belum pakai obat juga."
"Nggak mauuuuu! Sivia mau makan kalau disuapin Ayah! Sivia mau Ayah yang kasih obat mata!"
"Berarti sekarang Sivia mau ya? Ok, Princess."
Sebuah suara bass disusul bunyi pintu terbuka memburai kesedihan Sivia. Wajahnya berangsur cerah. Calvin memeluknya, mencium keningnya, dan membelai punggungnya. Lega hati sang suster. Ia makin lega ketika pria berkacamata itu membolehkannya pulang.
"Pelan-pelan Sivia harus mandiri ya..." Calvin menasihati sambil menyuapi Sivia.
"Kenapa? Ayah nggak suka ya?"