"Dan kamu, kamu harus tetap tegar dan anggun seperti Cattleya, ratunya anggrek." Calvin menimpali.
Ah, Calvin memperlakukannya seperti seorang ratu. Selalu saja Calvin mengatakan Alea layak memiliki nama Cattleya. Cattleya itu nama yang cantik. Nama genus anggrek dengan lebih dari 53 spesies, bunganya seukuran 5-15 cm. Cattleya tergolong tanaman epifit. Dia bisa tumbuh menempel di tembok atau di tempat lainnya. Bunga cantik ini dapat tumbuh di daerah beriklim tropis, sedang, dan dingin. Seorang botanis Inggris, Sir William Cattley, pertama kali berhasil membudidayakan anggrek simpodial ini.
Mereka tiba di rumah sakit. Tim medis siaga menanti. Betapa beruntungnya menjadi orang kaya. Mau berobat, selalu dimudahkan. Tak perlu mengantre selama berjam-jam hanya untuk bertemu dokter. Di rumah sakit, uang berbicara.
"Tidak, saya tidak mau kursi roda. Saya hanya muntah darah, bukan lumpuh." tolak Calvin tegas saat seorang perawat menyodorkan kursi roda.
Hanya muntah darah? Alea membelalakkan matanya ke langit-langit. Entah bagaimana jalan pikiran sang suami.
Dengan lembut, Alea menuntun Calvin memasuki lobi rumah sakit. Mereka melewati pintu demi pintu. Apotek, klinik tumbuh kembang, laboratorium, dan ruang tunggu. Ruangan besar kelewat penuh pasien. Tepat pada saat itu, Calvin menghentikan langkah. Ia minta diantarkan ke ruang tunggu. Alea benar-benar bingung menghadapi malaikat tampan bermata sipitnya. Di saat begini, Calvin masih memperhatikan hal absurd?
"My Cattleya, antarkan aku ke ruang tunggu. Kalau tidak, aku akan jalan sendiri meski kamu larang." ujar Calvin.
Alea menghela nafas panjang. Betapa keras kepala ayah dari anaknya.
Mereka berjalan ke ruang tunggu. Merinding tengkuk Alea menatap ke sekeliling. Ruangan itu dipenuhi orang-orang berwajah gloomy. Aroma minyak angin bercampur obat menusuk hidung. Sekelompok lansia duduk berjajar, mengobrol sesama mereka. Terdengar suara muntahan. Seorang pria berkepala botak tertidur di kursi roda. Kepalanya terkulai ke dada. Pemuda kurus berambut keriting mengerut ketakutan ketika dilayani perawat berwajah tidak ramah. Sepasang suami-istri pengidap Diabetes mengeluhkan panjangnya antrean.
Untuk apa Calvin sempat-sempatnya memperhatikan orang lain? Perasaan Alea campur-aduk, antara bangga dan resah. Dia tak kuasa mencegah ketika Calvin menolong seorang pasien pascaoperasi. Lantaran terlalu lama mengantre dan kehabisan tempat duduk, kaki si pasien berdarah-darah. Pasien perempuan itu sangat berterima kasih ketika Calvin mengambilkan kursi roda dan menyeka darahnya dengan sapu tangan.
Malaikat turun di rumah sakit. Sekejap saja, kehadiran Calvin merebut perhatian banyak orang. Mereka terpesona menyaksikan Calvin membantu pasien pascaoperasi, menggendong anak kecil yang terluka, menebus jenazah bayi dengan uang pribadinya, dan menuntun pasien yang tidak bisa melihat ke poli mata. Alea memperhatikan semua itu dengan terharu.