Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malaikat Tampan Bermata Sipit dan Anggrek Cattleya

8 Agustus 2019   06:00 Diperbarui: 8 Agustus 2019   06:50 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kejam, bisik hati Alea. Rona kecantikan tak mampu menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Alea memendam sedih setelah membaca laporan hasil studinya tentang gadis-gadis yang menjadi korban perkosaan.


Ibu mana yang mau anak gadisnya diperkosa? Bayangan wajah Sivia menari di pelupuk mata Alea. Tekadnya mengeras. Ia harus lebih ketat menjaga putri tunggalnya.

Perkosaan tak mengenal usia. Benar bahwa Sivia masih sembilan tahun. Tetapi, orang-orang jahat di luar sana mana peduli umur korbannya? Alea ingin membicarakan hal ini dengan Calvin.

Calvin? Ah, masih kuatkah pria pendamping hidupnya itu menjaga Sivia? Bukankah suaminya perlu perhatian khusus juga? Teringat Calvin membuat balon kesedihan di hati Alea membesar.

"Alea, mawarku banyak yang mati. Aku harus..."

Calvin masuk ke kamar dengan tergesa. Raut wajahnya cemas. Alea menegakkan posisi tubuh, pelan memutar kursinya. Haru menyelimuti relung hati mantan model majalah itu. Alea yakin, hanya pria berhati lembut yang mau meluangkan waktunya untuk mengurus bunga.

Demi melihat ekspresi wajah istrinya, pikiran Calvin teralih dari urusan bunga mawar. Ia lantas mencuci tangannya di wastafel, lalu berlutut di samping Alea.

"Hei, are you ok?" tanyanya lembut.

Kepala Alea tertunduk. Pelan disekanya ujung mata.

"Kenapa, Sayang? Cerita sama aku..." ulang Calvin, nada suaranya lebih lembut.

"Aku mencemaskan putri kita."

"Hari ini Sivia baik-baik saja. Dia belajar dengan tenang di kamarnya. Dia menghabiskan havermutnya."

"Bukan...bukan itu. Aku mengkhawatirkan keselamatannya. Lihat ini."

Alea menyodorkan laporan hasil studi. Mata Calvin bergulir cepat membaca lembar demi lembar.

"Alea, cobalah berpikir positif. Sivia jarang keluar rumah. Bilapun keluar, dia selalu bersama kita. Selama 24 jam selalu ada yang menemaninya. Entah itu aku, kamu, ataupun suster. So, kenapa harus takut?"

"Tapi sampai kapan? Kau juga perlu perhatian khusus..."

Mendung terlukis di wajah tampan Calvin. Lelah hati ini terus-menerus dianggap sakit. Calvin ingin sehat. Ingin ia teriakkan penyangkalan di depan wajah Alea. Penyangkalan bahwa dirinya tidak perlu dikhawatirkan. Darahnya memang mengental, tetapi bukan berarti dia harus dicemaskan setiap jam layaknya pasien kritis. Sayangnya, Calvin terlalu lembut untuk marah.

"Calvin, sorry...aku salah bicara ya?" sesal Alea.

"No problem, my Cattleya."

Alih-alih kemarahan, Calvin menghadiahi istrinya dengan pelukan. Calvin punya panggilan sayang untuk Alea. Mengambil nama belakangnya, Cattleya, seperti nama salah satu genus anggrek.

Calvin dan Alea berpelukan, erat dan lama. Mereka berbagi kehangatan tanpa kata. Mereka bertukar energi positif lewat dekapan.

Desiran menghebat di hati Alea. Calvin mencium keningnya. Ciuman terhangat di pagi yang dingin. Ciuman dari pria berhati malaikat. Pria yang rela mengundurkan diri dari perusahaan keluarga, melewatkan kesempatan menjadi direktur, dan memilih menjadi orang biasa demi merawat anak spesial.

Cairan kental apa ini? Tangan Alea menyentuh kening, di tempat tadi Calvin mengecupnya. Ia terbelalak. Noda merah menempel di tangan.

Tatapannya berpindah. Apa yang ditakutkannya terjadi. Darah mengalir dari hidung dan sudut bibir Calvin.

"Calvin...darah." desis Alea panik.

"Aku tidak apa-apa, Alea. Tidak apa-apa." Calvin berbisik lemah, sadar betul tubuhnya makin sulit diajak bekerjasama.

"Kita ke rumah sakit ya."

"Nope. Aku...uhuk."

Argumennya terpotong. Calvin terbatuk. Detik berikutnya, ia muntah darah.

**    

BMW putih itu melaju kencang menuju rumah sakit. Alea duduk di bangku belakang sambil terisak. Digenggamnya tangan Calvin erat.

Hati Calvin teriris. Tidak, ia tidak bisa melihat istrinya meneteskan air mata. Hanya air mata kebahagiaan yang boleh menuruni pipi Alea.

"My Cattleya...jangan biarkan kecantikan Cattleya rusak karena air mata." Calvin memohon lirih.

Kali kedua pagi ini, mereka berengkuhan. Buliran bening dari mata Alea tumpah membasahi jas hitam Calvin. Dalam pelukan Calvin, Alea bernyanyi lembut.

Seusai itu senja jadi sendu

Awan pun mengabu

Kepergianmu menyisakan duka

Dalam hidupku

'Ku meminta rindu menyesali waktu

Mengapa dahulu tak kuucapkan

"Aku mencintaimu sejuta kali sehari"

Walau masih bisa senyum

Namun tak selepas dulu

Kini aku kesepian

Kamu dan segala kenangan

Menyatu dalam waktu yang berjalan

Dan aku kini sendirian

Menatap dirimu hanya bayangan

Tak ada yang lebih pedih

Daripada kehilangan dirimu

Cintaku tak mungkin beralih

Sampai mati hanya cinta padamu (Maudy Ayunda-Kamu & Kenangan).

Calvin terpukul mendengar nyanyian wanitanya. Belum, dia belum meninggal. Mengapa Cattleyanya bernyanyi seolah dia sudah pergi?

"Tak ada yang lebih pedih dari pada kehilangan dirimu. Jangan tinggalkan aku, Calvin. Kamu harus sehat demi aku dan Sivia."

"Dan kamu, kamu harus tetap tegar dan anggun seperti Cattleya, ratunya anggrek." Calvin menimpali.

Ah, Calvin memperlakukannya seperti seorang ratu. Selalu saja Calvin mengatakan Alea layak memiliki nama Cattleya. Cattleya itu nama yang cantik. Nama genus anggrek dengan lebih dari 53 spesies, bunganya seukuran 5-15 cm. Cattleya tergolong tanaman epifit. Dia bisa tumbuh menempel di tembok atau di tempat lainnya. Bunga cantik ini dapat tumbuh di daerah beriklim tropis, sedang, dan dingin. Seorang botanis Inggris, Sir William Cattley, pertama kali berhasil membudidayakan anggrek simpodial ini.

Mereka tiba di rumah sakit. Tim medis siaga menanti. Betapa beruntungnya menjadi orang kaya. Mau berobat, selalu dimudahkan. Tak perlu mengantre selama berjam-jam hanya untuk bertemu dokter. Di rumah sakit, uang berbicara.

"Tidak, saya tidak mau kursi roda. Saya hanya muntah darah, bukan lumpuh." tolak Calvin tegas saat seorang perawat menyodorkan kursi roda.

Hanya muntah darah? Alea membelalakkan matanya ke langit-langit. Entah bagaimana jalan pikiran sang suami.

Dengan lembut, Alea menuntun Calvin memasuki lobi rumah sakit. Mereka melewati pintu demi pintu. Apotek, klinik tumbuh kembang, laboratorium, dan ruang tunggu. Ruangan besar kelewat penuh pasien. Tepat pada saat itu, Calvin menghentikan langkah. Ia minta diantarkan ke ruang tunggu. Alea benar-benar bingung menghadapi malaikat tampan bermata sipitnya. Di saat begini, Calvin masih memperhatikan hal absurd?

"My Cattleya, antarkan aku ke ruang tunggu. Kalau tidak, aku akan jalan sendiri meski kamu larang." ujar Calvin.

Alea menghela nafas panjang. Betapa keras kepala ayah dari anaknya.

Mereka berjalan ke ruang tunggu. Merinding tengkuk Alea menatap ke sekeliling. Ruangan itu dipenuhi orang-orang berwajah gloomy. Aroma minyak angin bercampur obat menusuk hidung. Sekelompok lansia duduk berjajar, mengobrol sesama mereka. Terdengar suara muntahan. Seorang pria berkepala botak tertidur di kursi roda. Kepalanya terkulai ke dada. Pemuda kurus berambut keriting mengerut ketakutan ketika dilayani perawat berwajah tidak ramah. Sepasang suami-istri pengidap Diabetes mengeluhkan panjangnya antrean.

Untuk apa Calvin sempat-sempatnya memperhatikan orang lain? Perasaan Alea campur-aduk, antara bangga dan resah. Dia tak kuasa mencegah ketika Calvin menolong seorang pasien pascaoperasi. Lantaran terlalu lama mengantre dan kehabisan tempat duduk, kaki si pasien berdarah-darah. Pasien perempuan itu sangat berterima kasih ketika Calvin mengambilkan kursi roda dan menyeka darahnya dengan sapu tangan.

Malaikat turun di rumah sakit. Sekejap saja, kehadiran Calvin merebut perhatian banyak orang. Mereka terpesona menyaksikan Calvin membantu pasien pascaoperasi, menggendong anak kecil yang terluka, menebus jenazah bayi dengan uang pribadinya, dan menuntun pasien yang tidak bisa melihat ke poli mata. Alea memperhatikan semua itu dengan terharu.

"Calvin, ayo...ayo ke unit Hematologi. Kamu sudah ditunggu." bujuk Alea seraya menarik lengan Calvin.

Seulas senyum menghiasi wajah pucat tapi tampan itu. "Alea, aku tahu kamu toleran...seperti tolerannya Cattleya pada cahaya matahari. Sebentar lagi ya."

Mata sipit bening itu, senyuman itu, meluluhkan Alea. Dibiarkannya sang suami kembali ke ruang tunggu. Ketika itulah Calvin bertemu pandang dengan gadis cantik berambut hitam dan berwajah bule. Gadis berskinny jeans itu terburu-buru menuju kasir. Samar mereka dapat mendengar dialog antara si gadis dan kasir rumah sakit.

"Tolonglah...saya belum punya uang sebanyak itu. Kenapa tes bebas narkoba sangat mahal?"

"Memang begitu prosedurnya. Biaya tes narkoba sesuai Perda."

"Saya benar---benar membutuhkan tes ini..."

Si gadis berparas bule nyaris menangis. Keputusasaan tergambar di wajahnya. Calvin mengenali, sangat mengenali. Denyut kecemburuan menjajah perasaan Alea begitu mendengar Calvin membisikkan sepotong nama: Rossie.

Mengabaikan protes Alea, Calvin bergegas mendatangi Rossie. Sempat terbaca olehnya sejumlah angka di nota pendaftaran tes narkoba. Diulurkannya beberapa lembar uang ratusan ribu ke meja kasir.

"Calvin?" gumam Rossie tak percaya.

"Kali ini kumohon jangan menolak bantuan sahabatmu, Rossie."

Sahabat? Bukan, mereka pernah menjalin rasa lebih dari sekedar sahabat. Tapi itu masa lalu.

"Tidak. Akan kuganti kalau aku sudah diterima kerja." Rossie menampik, wajahnya kalut.

"Tidak perlu, Rossie. Keluargamu lebih membutuhkan bantuanmu. Jangan pikirkan...karena sahabat sejati takkan merasa direpotkan, meski terus berkorban."

**    

Suster senior itu kewalahan. Anak cantik yang dijaganya terus-terusan menangis. Sivia menolak makan siang. Ia pun memberontak saat suster akan memberi obat tetes mata.

Mood Sivia berubah kacau sejak ditinggal Calvin. Gadis kecil itu trauma. Bayangan kejadian dua bulan lalu menghantam memorinya. Calvin yang meninggalkannya begitu lama, Calvin yang meninggalkannya sampai lewat tengah malam untuk urusan rumah duka dan kremasi. Sivia terpukul, amat terpukul.

"Sivia, makan dulu ya. Kamu belum makan dari tadi. Belum pakai obat juga."

"Nggak mauuuuu! Sivia mau makan kalau disuapin Ayah! Sivia mau Ayah yang kasih obat mata!"

"Berarti sekarang Sivia mau ya? Ok, Princess."

Sebuah suara bass disusul bunyi pintu terbuka memburai kesedihan Sivia. Wajahnya berangsur cerah. Calvin memeluknya, mencium keningnya, dan membelai punggungnya. Lega hati sang suster. Ia makin lega ketika pria berkacamata itu membolehkannya pulang.

"Pelan-pelan Sivia harus mandiri ya..." Calvin menasihati sambil menyuapi Sivia.

"Kenapa? Ayah nggak suka ya?"

"Bukan, Sayangku. Ayah mau aja urusin Princess Sivia. Tapi....kalau nanti Ayah nggak ada?"

Sivia ketakutan. Cepat atau lambat, saat itu akan tiba. Saat dimana Calvin tidak sanggup lagi mendekapnya.

Lembut dan penuh kasih sayang, Calvin meneteskan obat ke mata Sivia. Ia melakukannya dengan penuh cinta. Calvin menggerakkan tangan untuk meneteskan obat mata diiringi doa. Doa tulus dari hati terdalam agar putrinya terbebas dari rasa sakit dan trauma.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun