"Aku mencemaskan putri kita."
"Hari ini Sivia baik-baik saja. Dia belajar dengan tenang di kamarnya. Dia menghabiskan havermutnya."
"Bukan...bukan itu. Aku mengkhawatirkan keselamatannya. Lihat ini."
Alea menyodorkan laporan hasil studi. Mata Calvin bergulir cepat membaca lembar demi lembar.
"Alea, cobalah berpikir positif. Sivia jarang keluar rumah. Bilapun keluar, dia selalu bersama kita. Selama 24 jam selalu ada yang menemaninya. Entah itu aku, kamu, ataupun suster. So, kenapa harus takut?"
"Tapi sampai kapan? Kau juga perlu perhatian khusus..."
Mendung terlukis di wajah tampan Calvin. Lelah hati ini terus-menerus dianggap sakit. Calvin ingin sehat. Ingin ia teriakkan penyangkalan di depan wajah Alea. Penyangkalan bahwa dirinya tidak perlu dikhawatirkan. Darahnya memang mengental, tetapi bukan berarti dia harus dicemaskan setiap jam layaknya pasien kritis. Sayangnya, Calvin terlalu lembut untuk marah.
"Calvin, sorry...aku salah bicara ya?" sesal Alea.
"No problem, my Cattleya."
Alih-alih kemarahan, Calvin menghadiahi istrinya dengan pelukan. Calvin punya panggilan sayang untuk Alea. Mengambil nama belakangnya, Cattleya, seperti nama salah satu genus anggrek.
Calvin dan Alea berpelukan, erat dan lama. Mereka berbagi kehangatan tanpa kata. Mereka bertukar energi positif lewat dekapan.