"Berapa harganya? Nanti kuganti. Tadinya aku berencana membelikan Alquran Braille untuk Abi..."
"Tidak usah."
Adica tersenyum angkuh. "Kau kaya mendadak karena ikatan darah dengan Pak Effendi, kan?"
"Adica, saya akan berterima kasih bila hal ini tidak dibahas lagi."
Kekakuan Calvin-Adica kontradiktif dengan kehangatan di dekat mereka. Terlihat Adeline mengambilkan makanan untuk Abi Assegaf. Ia menunjukkan letak makanan di piring sesuai arah jarum jam.
"Daging ada di pukul empat. Tomat dan sayuran lainnya di pukul sepuluh." Adeline sabar menjelaskan. Benar-benar mirip seorang istri.
Istri? Ah, tidak. Abi Assegaf dan Adeline sudah terlepas dari ikatan sakral.
Jauh di dalam hati, Adeline menikmati momen manis ini. Dia bisa berdekatan lagi dengan Abi Assegaf. Ia punya kesempatan membantunya, menemaninya, makan bersamanya. Kesempatan yang sangat langka sebelumnya.
"Aku kasihan pada lansia di panti ini."
Di luar dugaan, Abi Assegaf mulai curhat. Adeline mendengarkan, tak sekali pun menyela.
"Hidup sendiri di masa tua itu susah. Paling berat ketika sakit. Tak ada yang memperhatikan, tak ada yang merawat, dan tak ada yang mencintai. Mungkin takkan ada yang kehilangan saat mereka meninggal. Akan lebih indah bila masa tua dilewatkan dengan orang-orang terkasih."