Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[3 Pria, 3 Cinta, 3 Luka] Huruf Braille, Menua Bersama, dan Stop Basket

15 Februari 2019   06:00 Diperbarui: 15 Februari 2019   06:02 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-Semesta Calvin-

Tangan Calvin diberkahi Allah, sama seperti Ia memberkahi tangan Juna Rorimpandey dan Edwin Lau. Bahan makanan apa pun yang diolahnya selalu lezat. 

Tak ada telur yang terlalu keras, sup yang terlalu matang, potongan fillet yang terlalu besar untuk digigit, dan teh yang terlalu manis.

Namun, pagi ini bukan sup, telur, ataupun teh yang tergeletak di meja dapur. Calvin memasak menu yang lain. Pria yang bisa masak, dua kali lipat lebih seksi.

Sedikit orang yang tahu Calvin mahir memasak. Rerata hanya mengenal Calvin karena basket dan musik. Nyatanya, putra tunggal Tuan Effendi itu senang main di dapur.

Dipotong-potongnya wortel, tomat, dan sayuran lainnya dengan cekatan. Pisau digerakkan berulang hingga menghasilkan potongan yang pas. Menu yang dibuatnya pagi ini agak banyak: nasi hainam, sup conro, dan ayam woku. 

Jangan tanya perbendaharaan masakannya. Calvin bisa memasak menu Barat, Indonesia, Oriental, dan Timur Tengah. Masakan Timur Tengah baru-baru ini dipelajarinya, sejak menjadi caregiver.

Ketika masakannya separuh selesai, bel pintu berdering. Pemuda penyuka film action itu berlari ke ruang depan. Benar apa yang ditunggunya.

Seorang kurir mengantarkan paket. Setelah menandatangani slip pengiriman, dua kotak kardus berukuran besar berpindah tangan. Tiga orang pelayan sigap membantu Calvin membawakan paket itu ke lantai atas. Calvin tersenyum puas, pelan menaiki anak tangga. Tak peduli lagi pada sakit di tulang-tulangnya.

"Ada paket untuk Abi..." kata Calvin setiba di master suite.

Abi Assegaf perlahan bangkit dari ranjangnya. Diterimanya paket itu penuh tanya. Calvin membukakan paket itu. Di dalamnya, nampak buku-buku tebal. Bukan buku biasa, tetapi buku berhuruf Braille.

"Dari siapa, Calvin? Abi tidak pernah membelinya..."

"Dari malaikat tampan bermata sipit, Tuan." timpal seorang pelayan berambut pendek.

Sesaat Calvin salah tingkah. Raut wajah Abi Assegaf berubah. Ada bahagia, ada haru, ada rasa tak percaya. Disentuhnya jemari tangan Calvin. Mau tak mau, Calvin harus jujur.

Calvin yang dulu bukanlah yang sekarang. Kini jumlah tabungan di rekeningnya membengkak berkali-kali lipat. Ditambah lagi beberapa kartu kredit dan rekening reksa dana. Sejumlah aset properti dan kendaraan roda empat atas nama dirinya. 

Tak perlu lagi ia bersusah payah bekerja menjadi caregiver hanya untuk mendapat uang. Bahkan ia menolak gaji pemberian Abi Assegaf.

Abi Assegaf lirih berterima kasih. Calvin tersenyum tulus. Lalu dihadiahi pelukan dari ayah keduanya.

**    


Bila ingin hidup damai di dunia

Bahagialah dengan apa yang kaupunya

Walau hatimu merasa semua belum sempurna

Sebenarnya kita sudah cukup semuanya

Bila dunia membuatmu kecewa

Karena semua cita-citamu tertunda

Percayalah segalanya telah diatur semesta

Agar kita mendapatkan yang terindah

Impianmu terbangkanlah tinggi

Tapi selalu pijakkan kaki di bumi

Senyumlah kembali, bahagiakan hari ini

Buatlah hatimu bersinar lagi

Bila ingin lebih damai di dunia

Berbagilah bahagia yang telah kau punya

Kini hatimu terasa semua lebih sempurna

Karena kau hidup dengan seutuhnya (Adera-Catatan Kecil).

Tak pernah sebelumnya Calvin membayangkan bisa berduet dengan Adica. Calvin tahu diri. Siapakah dirinya dibandingkan Adica yang terkenal dan berbakat?

Siang ini, tangan takdir mempertemukan mereka di panggung yang sama. Sebuah panggung kecil di tengah panti sosial sederhana. Piano Calvin menyentuh rasa. Biola Adica mengalunkan melodi indah.

Lagi-lagi Abi Assegaf yang memintanya. Riskan mereka menolak. Bila orang lain yang meminta, mudah saja mereka menolak. Lain cerita kalau permintaan datang dari Abi Assegaf. Orang yang dicintai, sumber kelemahan sekaligus sumber kekuatan.

Kalau Calvin tahu diri, Adica percaya diri dengan kemampuannya. Sebagai presenter dan violinis, dia sangat pemilih bila menyangkut pasangan kolaborasi. Mana mau dia berduet dengan Calvin yang bukan tipenya?

Anak-anak jalanan, pengamen, tunawisma, dan lansia bertepuk tangan. Sangat terhibur dengan lagu yang mereka bawakan. Kepala panti terbius kekaguman. Abi Assegaf bangga sekali. Adeline tersenyum-senyum, memeluk Adica saat anak semata wayangnya itu turun dari panggung.

Tak ada sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Acara ini telah direncanakan. Makan siang bersama, berdonasi untuk panti sosial, dan menghibur para penghuninya. Semua ini inisiatif Abi Assegaf dan Adeline.

Saat acara makan siang, Calvin dan Adica duduk bersebelahan. Adeline dan Abi Assegaf terpisah dua kursi dari mereka. Calvin leluasa mengawasi Abi Assegaf, memastikan ayah keduanya aman. Tak sadar Adica tengah memperhatikannya.

"Kau membelikan buku Braille untuk Abiku?" tanya Adica datar membuka pembicaraan.

"Iya. Kenapa memangnya?"

"Berapa harganya? Nanti kuganti. Tadinya aku berencana membelikan Alquran Braille untuk Abi..."

"Tidak usah."

Adica tersenyum angkuh. "Kau kaya mendadak karena ikatan darah dengan Pak Effendi, kan?"

"Adica, saya akan berterima kasih bila hal ini tidak dibahas lagi."

Kekakuan Calvin-Adica kontradiktif dengan kehangatan di dekat mereka. Terlihat Adeline mengambilkan makanan untuk Abi Assegaf. Ia menunjukkan letak makanan di piring sesuai arah jarum jam.

"Daging ada di pukul empat. Tomat dan sayuran lainnya di pukul sepuluh." Adeline sabar menjelaskan. Benar-benar mirip seorang istri.

Istri? Ah, tidak. Abi Assegaf dan Adeline sudah terlepas dari ikatan sakral.

Jauh di dalam hati, Adeline menikmati momen manis ini. Dia bisa berdekatan lagi dengan Abi Assegaf. Ia punya kesempatan membantunya, menemaninya, makan bersamanya. Kesempatan yang sangat langka sebelumnya.

"Aku kasihan pada lansia di panti ini."

Di luar dugaan, Abi Assegaf mulai curhat. Adeline mendengarkan, tak sekali pun menyela.

"Hidup sendiri di masa tua itu susah. Paling berat ketika sakit. Tak ada yang memperhatikan, tak ada yang merawat, dan tak ada yang mencintai. Mungkin takkan ada yang kehilangan saat mereka meninggal. Akan lebih indah bila masa tua dilewatkan dengan orang-orang terkasih."

Hati Adeline tergelitik pelan. Satu tangan memilin rambut coklatnya. Ekspresinya resah bercampur gembira.

"Aku juga berpikiran begitu. Assegaf, aku takut menjalani masa tua dalam kesepian. Kau tahu sendiri kan? Betapa sibuknya anak kita."

Ucapan Adeline dibenarkan mantan suaminya. Menjalani usia senja dalam sepi, sungguh tak enak. Tak mengapa bila sepi bukan karena kesepian. Masih terbukakah kemungkinan Abi Assegaf dan Adeline menua bersama?

**    

-Semesta Tuan Effendi-

"Pak Effendi...maaf, maksudku...Papa mau kemana?" tanya Calvin canggung.

Tuan Effendi menggigit bibirnya masygul. Anak itu belum terbiasa memanggilnya Papa. Tetapi ia tak canggung memanggil Abi Assegaf dengan sebutan Abi.

"Ke gereja, My Dear. Mau ikut?"

"Tidak, Pa. Aku Muslim. Tapi aku mau kok antar Papa ke gereja."

Terpagut kekagetan hati ini mendengarnya. Ayah terbodoh di dunia, maki Tuan Effendi pada dirinya sendiri. Ayah mana yang tidak tahu agama anaknya? Demi Yesus yang tersalib dan bangkit lagi, dia baru tahu kalau Calvin memeluk Islam.

Pertanyaan berkejaran di benaknya. Mengapa Calvin memilih Islam? Bagaimana perjalanan spiritualnya? Sempatkah dia menghadapi perseteruan religius yang tajam? Namun ia tak kuasa menanyakannya. Biarlah, biarlah itu menjadi cerita Calvin.

Limousine meluncur menembus pagi berkabut. Sisa hujan semalam membuat jalanan licin. Embun menari di pucuk dedaunan. Seolah senang melihat sosok Calvin yang sangat toleran.

"Papa rajin ikut Misa harian ya. Padahal ini bukan Hari Minggu." Calvin memuji.

"Tidak juga, Calvin. Hanya memenuhi nazar pada diri sendiri."

"Nazar apa, Pa?"

"Jika Papa sudah bertemu dengan anak kandung Papa, 1,000 hari berikutnya harus selalu ke gereja. Bukan hanya Hari Minggu saja."

"Wow that's great."

"Kapan kamu mau tinggal bersama Papa?"

Sedetik kemudian, Tuan Effendi menyesali pertanyaannya. Wajah Calvin berubah keruh. Senyumnya memudar. Mungkin ia salah bicara.

"Papa," kata Calvin lembut.

"Aku tidak mungkin meninggalkan Abi Assegaf."

Hatinya memberontak. Tidak, ini menyedihkan. Anaknya lebih sayang orang lain dibanding dirinya. Kata 'mengapa' itu nyaris terlontar, tapi Tuan Effendi menahan diri. Susah payah Tuan Effendi mengatur ekspresi wajahnya setenang mungkin.

Calvin menghela nafas. "Aku ingin merawat Abi Assegaf di sisa hidupku."

"Mengapa kau berkata begitu, My Dear? Masa depanmu masih panjang. Kau juga punya kehidupan yang lain."

Tidak, tidak ada masa depan yang lebih panjang untuk penyintas kanker.

**    

-Semesta Dokter Tian-

Andai megaserver Lauhul Mahfuzh milik Allah bisa di-hack, Dokter Tian ingin sekali menjadi hacker lalu membongkar datanya. Dengan begitu, ia bisa menulis ulang nasibnya sendiri. Di dunia ini, Dokter Tian menyesal jadi dokter.

Saat paling berat ketika ia menyayangi pasien-pasiennya dan harus menyampaikan vonis. Ah, benci sekali ia pada kata itu. Serasa seperti hakim jahat, kepanjangan tangan Tuhan yang naif. Di sore berhujan lebat ini, ia kembali dihadapkan pada momen terberat.

"Bagaimana hasilnya, Dokter?" tanya Calvin.

Dokter Tian membalik-balik medical record. Tak tega, sungguh tak tega harus menyampaikannya. Dia mulai menebak-nebak, bagaimana perubahan raut wajah tampan itu bila vonis tersampaikan? Demi Nabi Muhammad yang tak pernah menduakan Khadijah, Dokter Tian tak sanggup bila harus melihat pemuda berwajah santun menyenangkan itu bersedih.

"Calvinku, sel kanker masih bertahan di tulang punggungmu. Sepertinya ia sudah kebal dengan kemoterapi. Kamu perlu coba radiasi. Mulai sekarang, pakai korset."

"Saya mengerti, Dokter. Kapan kita bisa mulai terapi radiasi?"

"Secepatnya. Dan kamu...harus berhenti main basket."

Tiga kata terakhir terlontar bebas. Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Dokter Tian waswas. Bersiap meminjamkan tangannya untuk menenangkan. Tapi...ah, sungguh tegar pemuda ini. Calvin tidak sedih. Sama sekali tak terlihat gurat kesedihan di parasnya.

Raut wajah Calvin tetap lembut, tetap tenang, tetap santun. Murnikah ketegaran? Atau pemaksaan diri untuk terlihat baik-baik saja? Tidak, Calvin tidak begitu. Dokter Tian kenal dia luar-dalam.

Di luar, hujan makin agresif. Lebat, lebat, dan bertambah lebat. Sederas laju kesedihan di sudut hati Calvin.

**   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun